BANTUL, POPULI.ID – Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) baru-baru ini merilis data yang cukup mengkhawatirkan: Sebanyak 20,9 persen anak di Indonesia tumbuh tanpa kehadiran figur ayah. Fenomena ini dikenal sebagai fatherless, dan bukan sekadar persoalan keluarga, tetapi telah menjadi krisis sosial yang berdampak luas terhadap pembentukan karakter generasi muda.
Muhammad Arif Rizqi, Psikolog dan Kepala Divisi Konseling dan Kesejahteraan Mahasiswa Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), mengungkapkan bahwa dampak dari absennya sosok ayah sangat nyata dan sering muncul dalam berbagai kasus psikologis mahasiswa yang ia tangani.
“Fatherless bukan hanya teori. Saya temui langsung di ruang konseling. Banyak klien yang menghadapi permasalahan emosional karena sejak kecil tidak merasakan kehadiran ayah. Luka ini memang tidak selalu langsung terasa, tetapi kerap muncul saat mereka memasuki usia dewasa,” jelas Arif dikutip dari laman UMY, Sabtu (12/7/2025).
Anak-anak yang tumbuh tanpa keterlibatan ayah cenderung mengalami hambatan dalam perkembangan emosi, kognitif, dan sosial. Gejalanya dapat muncul dalam bentuk kesulitan mengambil keputusan, minimnya rasa tanggung jawab terhadap tindakan, hingga perasaan kesepian yang mendalam, bahkan saat berada di lingkungan sosial yang ramai.
Menurut Arif, akar persoalan ini juga dipengaruhi oleh konstruksi budaya patriarki yang masih kuat di masyarakat Indonesia. Dalam budaya ini, ayah lebih sering diposisikan sebagai pencari nafkah, sementara pengasuhan dianggap sepenuhnya tanggung jawab ibu.
“Padahal, ayah memiliki peran batiniah yang sangat penting. Ia seharusnya menjadi sumber rasa aman, teladan dalam kepemimpinan, serta penguat nilai tanggung jawab dan keberanian,” tambahnya.
Arif menegaskan bahwa peran ayah seharusnya sudah dimulai sejak masa kehamilan. Bentuk keterlibatan ini bisa berupa dukungan emosional terhadap pasangan, menjaga kestabilan psikologis ibu, hingga menyampaikan sugesti positif kepada janin di dalam kandungan.
“Kesadaran akan hakikat peran sebagai ayah adalah titik awal penting. Dari kesadaran itu, akan lahir rasa tanggung jawab dan keterlibatan yang utuh dalam dinamika keluarga,” ujarnya.
Lebih lanjut, Arif mendorong para ayah untuk mengambil langkah konkret, seperti mempelajari pola pengasuhan melalui platform edukatif di media sosial, mengikuti pelatihan parenting, dan membangun komunitas yang mendukung keterlibatan ayah dalam proses pengasuhan.
Ia menekankan bahwa menjadi seorang ayah adalah pilihan sadar yang membawa konsekuensi sekaligus anugerah besar. Di balik peran tersebut, tersimpan potensi luar biasa untuk membawa kebaikan yang melampaui dirinya sendiri.
“Menjadi ayah bukan berarti harus selalu sempurna. Justru ayah sejati adalah mereka yang terus bertumbuh, belajar dari kesalahan, dan berusaha memberikan yang terbaik bagi keluarganya,” pungkas Arif.