BANTUL, POPULI.ID – Dunia kerja saat ini tengah menghadapi fenomena baru yang menggugah kesadaran banyak pihak: “Quiet quitting”.
Istilah yang sempat viral di berbagai platform media sosial ini bukan lagi sekadar bahan diskusi ringan, melainkan telah menjelma menjadi isu serius yang mencerminkan pergeseran nilai, ekspektasi, dan cara kerja generasi muda.
Quiet quitting menggambarkan kondisi ketika karyawan tetap menjalankan tugas-tugas pokok sesuai deskripsi pekerjaan, namun tanpa inisiatif tambahan, keterlibatan emosional, maupun komitmen jangka panjang terhadap pekerjaan atau institusi.
Dalam dunia akademik, kondisi ini dikenal sebagai bentuk penarikan diri secara psikologis dari pekerjaan.
Fenomena ini kerap dikaitkan dengan generasi Z, generasi yang lahir dan tumbuh di era digital, terbiasa dengan komunikasi terbuka, mengedepankan kesehatan mental, serta memiliki ekspektasi tinggi terhadap keseimbangan hidup (work-life balance).
Menurut Dekan Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) UMY sekaligus dosen Manajemen Sumber Daya Manusia Meika Kurnia Puji Rahayu, quiet quitting bukanlah bentuk kemalasan, melainkan gejala dari lingkungan kerja yang tidak mendukung secara emosional dan struktural.
“Quiet quitting itu sebenarnya perilaku bekerja secara minimalis atau sekadar menjalankan tugas sesuai kewajiban. Generasi Z tidak mencoba melakukan lebih atau melampaui ekspektasi. Dalam organisasi yang dinamis, sikap ini bisa menjadi penghambat pencapaian tujuan,” jelas Meika dikutip dari laman UMY, Rabu (16/7/2025).
Meika menambahkan, tantangan ini semakin rumit karena sebagian besar pimpinan organisasi berasal dari generasi X, sementara staf dan karyawan didominasi oleh generasi Z. Ketimpangan nilai, ekspektasi, dan gaya komunikasi ini menciptakan celah antargenerasi yang rentan memicu konflik tersembunyi.
“Quiet quitting bukan berarti mereka malas atau tidak loyal. Ini sinyal bahwa ada yang perlu dibenahi dalam sistem kerja dan budaya organisasi. Kita tidak bisa terus mengeluh dan menyalahkan. Kita harus aware dan accept bahwa ini sudah terjadi, lalu mencari strategi untuk menghadapinya,” tegasnya.
Sebagai solusi, Meika menekankan pentingnya budaya kerja yang mendukung dan lingkungan kerja yang sehat secara emosional, terutama untuk mendorong lahirnya Organizational Citizenship Behavior (OCB) — yakni perilaku ekstra dari karyawan yang dilakukan secara sukarela karena mereka peduli terhadap organisasi.
“OCB adalah kontribusi lebih dari karyawan yang tidak tertulis dalam jobdesc, namun dilakukan karena rasa kepemilikan dan komitmen terhadap tujuan bersama,” lanjutnya.
Menurut Meika, budaya kerja yang suportif tidak bisa dibangun melalui pendekatan otoriter atau sekadar imbalan finansial. Pola kepemimpinan yang hanya menekankan pada gaji, bonus, atau hukuman justru berisiko memperparah fenomena disengagement di tempat kerja.
“Yang dibutuhkan adalah kepemimpinan yang memahami karakter Gen Z, menciptakan ruang yang memungkinkan mereka untuk bertumbuh, belajar, dan merasa dihargai,” tambahnya.
Ia juga menegaskan pentingnya penguatan soft skills bagi generasi muda, seperti empati, komunikasi efektif, dan kemampuan kolaborasi lintas generasi.
“Anak-anak Gen Z itu cerdas-cerdas, tapi kecerdasan saja tidak cukup. Mereka harus dilengkapi dengan keterampilan lunak agar dapat beradaptasi di dunia kerja yang kompleks,” ujarnya.
Meika menutup dengan pesan bahwa menciptakan lingkungan kerja yang sehat secara emosional bukan hanya tanggung jawab HRD atau manajemen puncak, tetapi tanggung jawab bersama di seluruh level organisasi. Budaya kerja yang positif akan tumbuh bila semua pihak merasa didengar, dihargai, dan diberdayakan.