YOGYAKARTA, POPLI.ID – Pemerintah Kota Yogyakarta memilih pendekatan strategis dalam menanggulangi kemiskinan, yakni dengan memfokuskan intervensi pada wilayah-wilayah yang memiliki kantong kemiskinan paling tinggi.
Wali Kota Yogyakarta, Hasto Wardoyo, menekankan bahwa pengentasan kemiskinan tidak bisa dilakukan secara merata sekaligus di seluruh wilayah Kemantren karena keterbatasan anggaran.
“Beberapa kemantren seperti Mergangsan, Umbulharjo, Wirobrajan, Gondokusuman, dan Mantrijeron memiliki tingkat kemiskinan yang cukup tinggi. Maka, wilayah-wilayah inilah yang akan menjadi prioritas utama agar dampaknya lebih terasa signifikan,” ujar Hasto dalam Forum Group Discussion Tim Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan (TKPK) di Balai Kota Yogyakarta, Selasa (5/8/2025).
Ia mengakui, keterbatasan fiskal membuat pemerintah harus lebih selektif dan efisien dalam menyalurkan bantuan.
Oleh karena itu, pembangunan difokuskan mulai dari tingkat paling bawah, dimulai dari kampung, kelurahan, hingga RT dan RW.
Hal ini sejalan dengan visi pembangunan nasional yang dicanangkan Presiden Prabowo melalui Asta Cita, yang menitikberatkan pada pembangunan dari desa.
“Kami meyakini bahwa keberhasilan pengentasan kemiskinan justru lahir dari gerak cepat di tingkat akar rumput. Ketika struktur paling bawah responsif, maka upaya pengentasan akan lebih efektif,” lanjut Hasto.
Ia juga menekankan pentingnya pemetaan warga miskin berdasarkan usia dan produktivitas.
Warga miskin yang masih dalam usia produktif akan diarahkan ke program pelatihan keterampilan dan kegiatan ekonomi produktif.
Sementara itu, kelompok lansia atau yang sudah tidak mampu bekerja akan dibantu melalui program sosial dan amal.
“Data sangat penting. Jika lima kemantren ini diberdayakan dengan basis data yang jelas, maka kita bisa membuat program yang lebih tepat sasaran,” imbuhnya.
Sementara itu, dari sisi metodologi, Badan Pusat Statistik (BPS) DIY menegaskan bahwa pengukuran tingkat kemiskinan di Indonesia, termasuk di Yogyakarta, dilakukan berdasarkan besaran pengeluaran masyarakat per kapita setiap bulan.
Kepala BPS DIY, Herum Fajarwati, menyampaikan bahwa pendekatan ini juga diterapkan oleh berbagai negara lain, berbeda dengan metode Bank Dunia yang mengacu pada Produk Domestik Bruto (PDB) per kapita berdasarkan Purchasing Power Parity (PPP).
“Bank Dunia menggunakan pendekatan global dan membandingkan antarnegara, sementara Indonesia memilih metode berdasarkan survei konsumsi rumah tangga.
Ini sudah disepakati secara internasional bahwa masing-masing negara bisa menentukan indikatornya sendiri,” jelas Herum saat ditemui di Kantor BPS DIY, Bantul, Selasa (5/8/2025).
Menurut data BPS, tingkat kemiskinan di DIY saat ini berada di angka 10,23 persen. Artinya, dari setiap 100 penduduk, sekitar 10 orang masuk dalam kategori miskin.
Namun, jika menggunakan standar Bank Dunia, jumlah tersebut bisa melonjak drastis.
“Jika memakai garis kemiskinan versi Bank Dunia, Indonesia bisa masuk dalam kelompok negara berpendapatan menengah ke bawah, dan angka kemiskinannya bisa mencapai 63 persen. Ini karena indikatornya bukan hanya konsumsi, tapi juga faktor pendapatan nasional,” katanya.
Herum menegaskan bahwa pemahaman terhadap data kemiskinan harus bersifat menyeluruh.
Tidak hanya melihat dari sisi pengeluaran, tapi juga mempertimbangkan aspek kesehatan, pendidikan, dan budaya yang turut memengaruhi kesejahteraan masyarakat.
“Kalau hanya melihat dari sisi konsumsi, maka hasilnya tentu berbeda dibanding jika kita menilai dari sisi aset atau kualitas layanan publik,” pungkasnya.
Dengan strategi terarah di lapangan dan pendekatan data yang komprehensif, tantangan besar pengentasan kemiskinan di Yogyakarta diharapkan bisa dihadapi dengan langkah yang lebih realistis dan berdampak nyata.
(populi.id/Hadid Pangestu)