SLEMAN, POPULI.ID – Komunitas Peduli Kebijakan Kesehatan Indonesia (KPKKI) bersama Pusat Kajian Antikorupsi (Pukat) UGM melayangkan amicus curiae ke Mahkamah Konstitusi (MK) terkait Undang-Undang Kesehatan No.17 Tahun 2023.
Regulasi tersebut dinilai mendorong komersialisasi layanan kesehatan sehingga mengabaikan hak masyarakat, terutama di daerah pelosok.
Ketua KPKKI, Wahyudi Kumorotomo, menegaskan kebijakan Kementerian Kesehatan (Kemenkes) berpotensi memperlebar kesenjangan akses layanan.
“Masyarakat di pinggiran yang mestinya punya hak yang sama sebagai warga negara, ternyata tidak mendapatkan haknya,” ujarnya dalam konferensi pers di Pusat Studi Pancasila (PSP) UGM, Sleman, Senin (8/9/2025).
Menurut Wahyudi, sebanyak 37 rumah sakit vertikal di bawah Kemenkes kini lebih dibebani target pendapatan ketimbang pelayanan.
Bahkan, rumah sakit disebut terpaksa menggunakan obat dan alat yang tidak dibutuhkan pasien demi memenuhi target finansial.
Kritik serupa datang dari Ketua Pukat UGM, Totok Dwi Diantoro. Ia menyoroti adanya sentralisasi otoritas di tangan Menteri Kesehatan yang berpotensi menimbulkan abuse of power.
“Arah kebijakan UU Kesehatan ini cenderung mengarah pada industrialisasi dan komersialisasi layanan publik,” katanya.
Totok juga menyoroti Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) yang semakin hospital-based sehingga mengurangi peran perguruan tinggi.
Menurutnya, pola ini membuka ruang konflik kepentingan di bawah kendali Kemenkes.
Atas dasar itu, Pukat UGM merasa perlu bergabung bersama KPKKI dalam pengajuan amicus curiae.
“Kami ingin berkontribusi mengoreksi tata kelola layanan kesehatan agar tetap berpihak pada rakyat, bukan kepentingan industri,” ujar Totok.
(populi.id/Hadid Pangestu)