SLEMAN, POPULI.ID – Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Sleman mulai melakukan registrasi dan pelabelan terhadap kebun salak pondoh dan salak madu sebagai langkah perlindungan komoditas khas daerah.
Program ini juga menjadi dasar penguatan daya saing produk olahan salak yang kini mulai menembus pasar ekspor.
Plt Kepala Dinas Pertanian, Pangan, dan Perikanan (DP3) Sleman, Rofiq Andriyanto, mengatakan registrasi dilakukan untuk memastikan asal-usul dan riwayat setiap pohon salak, sekaligus melindungi varietas lokal dari klaim dan alih fungsi lahan.
“Dengan registrasi ini bisa diketahui riwayat per pohonnya. Kami kasih label agar asalnya jelas, dan itu akan berdampak pada nilai komoditas,” ujarnya, Selasa (14/10/2025).
Selain pendataan, DP3 juga terus mengembangkan hilirisasi produk seperti minuman kemasan, pastry berbahan dasar salak, hingga olahan dari kentos salak. Langkah ini menjadi strategi bertahan di tengah berkurangnya lahan pertanian salak pondoh di Sleman.
Berdasarkan data tahun 2024, luas lahan salak pondoh tercatat 890,66 hektare, menurun sekitar 200 hektare dari tahun sebelumnya akibat alih fungsi menjadi lahan hortikultura.
“Kita ingin memperkuat hilirisasi sekaligus melindungi kebun yang masih ada. Karena salak pondoh sudah menjadi identitas Sleman,” imbuh Rofiq.
Di sisi lain, pelaku usaha turut merasakan manfaat penguatan kualitas dan perlindungan produk.
Sementara itu, Pemkab juga memperketat budidaya salak madu, varietas unggulan yang dibudidayakan secara organik dan hanya ingin dipertahankan di Sleman.
Pimpinan CV Mitra Turindo, Suroto, menyebut pihaknya telah mengekspor salak hasil gabungan dari beberapa kelompok tani di Kapanewon Turi.
“Sekarang lebih banyak untuk ekspor, terutama ke Tiongkok. Nilainya bisa mencapai sekitar Rp1,5 miliar per bulan. Ini salah satu cara untuk membela petani,” ungkapnya.
Dalam satu tahun, CV Mitra Turindo mampu mengekspor 5 hingga 6 ton salak, terutama jenis pondoh yang berasal dari kebun petani lokal Sleman.
(populi.id/Hadid Pangestu)