YOGYAKARTA, POPULI.ID – Dinas Pertanahan dan Tata Ruang (Dinpertaru) Kota Yogyakarta tengah mempercepat proses pendataan dan legalisasi lahan-lahan milik Kasultanan Yogyakarta dan Kadipaten Pakualaman ke Badan Pertanahan Nasional (BPN). Langkah ini bertujuan memperkuat status hukum atas tanah-tanah tersebut. Sekaligus memastikan perlindungan terhadap aset-aset strategis yang menjadi bagian dari keistimewaan DIY.
Kepala Dinpertaru Kota Yogyakarta, Wahyu Handoyo, mengatakan pihaknya tengah melakukan rangkaian kegiatan mulai dari identifikasi dan inventarisasi lahan Sultan Ground (SG) hingga proses pendaftaran ke kantor pertanahan BPN.
“Setelah lewat tahapan identifikasi dan inventarisasi, ada proses verifikasi data, peninjauan lapangan, clear dan clean, baru kemudian sertifikat tanah bisa terbit, seperti hak milik Keraton dan Pakualaman,” ujarnya kepada wartawan, Selasa (14/10/2025).
Ketika sertifikat resmi diterbitkan, akan diserahkan kepada pihak Keraton maupun Pura Pakualaman melalui Dinpertaru DIY dengan menggunakan dana keistimewaan sebagai sumber pembiayaan.
Untuk tahun 2025, Wahyu menyebut proses masih berjalan dan belum bisa memastikan jumlah sertifikat yang sudah jadi. Sejak dinasnya terbentuk pada 2017, telah banyak sertifikat hak milik (HM) untuk tanah Kasultanan yang berhasil diselesaikan.
Namun, grafik penerbitannya mulai stagnan karena banyak lahan SG yang kosong ataupun yang belum terpetakan di BPN kini sudah banyak yang terisi.
Wahyu menargetkan sekitar 50 sertifikat yang akan terbit dalam tahun 2025. Meskipun jumlah yang dapat diterbitkan tidak bisa dipastikan karena perlu melalui proses clean dan clear dari pihak BPN. Ada kemungkinan beberapa lahan tidak bisa diakui jika sudah ada hak pihak lain atau persil lain yang sudah tercatat.
Menurut Wahyu, sertifikasi ini memberikan kepastian hukum bagi Keraton dan Pura Pakualaman sebagai pemilik sah, sekaligus memperkuat perikatan formal antara masyarakat yang menempati tanah tersebut dengan pihak Kasultanan atau Kadipaten.
“Ini bentuk perlindungan hukum agraria. Sertifikat itu menjadi alas hak yang diakui secara legal. Dan masyarakat yang tinggal di atas tanah itu bisa mengajukan kekancingan secara sah ke Keraton maupun Pura,” tuturnya.
Terkait kegiatan pengadaan tanah untuk kepentingan publik seperti Ruang Terbuka Hijau Publik (RTHP) atau fasilitas umum, Wahyu mengakui adanya hambatan karena keterbatasan anggaran, terutama akibat rasionalisasi pada APBD tahun ini.
“Daftar tunggu pengadaan tanah di kami itu panjang, sekitar 150 sampai 160. Tapi tahun ini dari (APBD) murni kami tidak dapat alokasi sama sekali. Baru di (APBD) perubahan ini kami dapat satu lokasi saja,” ungkapnya.
Lokasi tersebut berada di Kelurahan Cokrodiningratan dengan alokasi anggaran sekitar Rp 1,2 miliar untuk pembebasan lahan seluas sekitar 200 meter persegi. Di atasnya sudah berdiri RTHP.
“Kami selamatkan aset itu, kebetulan di atasnya sudah ada RTHP-nya. Kami beli tahun ini,” kata Wahyu.
Mengenai cakupan wilayah pengadaan tanah, Wahyu menyebut secara aturan Kota Yogyakarta bisa membeli lahan di mana saja, bahkan di luar wilayah kota. Namun, selama ini pengadaan masih difokuskan di dalam kota karena masih banyak kebutuhan yang belum terpenuhi.
“Kalau aset kota, secara aturan bisa beli di mana saja. Tapi kenyataannya kami belum pernah ke sana, karena di kampung-kampung dalam kota saja kebutuhan RTHP-nya belum merata,” ujarnya.
Menurutnya, selain anggaran, proses pengadaan tanah juga dipengaruhi oleh momentum ketersediaan lahan dan kecocokan harga. Ia menyebut hal ini sebagai “pulung”, istilah Jawa yang menggambarkan pentingnya momen yang pas antara ketersediaan lahan dan dana.
“Punya uang tapi nggak ada tanah, ya nggak bisa beli. Ada tanah tapi nggak punya uang juga nggak bisa beli. Jadi harus ketemu momentumnya,” pungkas Wahyu.