YOGYAKARTA, POPULI.ID – PT Kereta Api Indonesia (KAI) Daop 6 Yogyakarta menegaskan bahwa seluruh tahapan penertiban di kawasan sekitar Stasiun Lempuyangan telah dilakukan sesuai prosedur internal perusahaan.
Pernyataan ini disampaikan merespons polemik penggusuran yang menuai keberatan dari warga terdampak.
Setelah melalui proses sosialisasi dan mediasi, KAI saat ini tengah melanjutkan tahapan pemberian surat peringatan secara bertahap.
“Kami tetap mengikuti prosedur yang berlaku di perusahaan. Setelah sosialisasi dan mediasi, tahapan dilanjutkan dengan surat peringatan pertama, kemudian kedua dan ketiga sebelum dilakukan penertiban,” ujar Humas KAI Daop 6 Yogyakarta, Feni Novida Saragih, saat dihubungi Populi.id, Kamis (5/6/2025).
Di sisi lain, warga yang terdampak menilai langkah KAI terlalu tergesa dan tidak menghormati proses mediasi yang masih berlangsung. Melalui Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Yogyakarta, warga menyampaikan keberatan atas surat peringatan yang telah dilayangkan.
“Kami menilai surat peringatan itu prematur karena belum ada kesepakatan antara warga dan KAI. Proses mediasi belum selesai, dan itu seharusnya dihormati terlebih dahulu,” kata Raka Ramadhan, pendamping hukum warga dari LBH Yogyakarta, Kamis (5/6/2025).
Dalam surat keberatan yang akan segera dikirimkan, warga juga meminta KAI membuka dasar hukum serta dokumen klaim atas 14 bangunan yang masuk dalam rencana pengosongan.
Raka menekankan pentingnya transparansi agar warga memahami secara utuh alasan di balik kebijakan penertiban tersebut.
“Warga berhak tahu seperti apa rencana pengembangan kawasan Lempuyangan. Jika alasannya ekonomi, maka warga juga punya hak untuk terlibat dalam proses perencanaannya, karena mereka hidup dan bekerja di sana,” ujarnya.
LBH Yogyakarta juga menyoroti waktu pengiriman surat peringatan kedua yang dilakukan menjelang Hari Raya Iduladha.
Menurut Raka, hal ini menambah tekanan psikologis, terutama bagi para lansia yang masih tinggal di lokasi.
“Apakah simbah-simbah kami bisa tenang beribadah jika setiap hari dihantui surat peringatan? Ini bukan sekadar surat, ini bentuk tekanan psikologis. Itu yang kami nilai sebagai bentuk ancaman,” tambahnya.
Warga berharap terciptanya ruang dialog yang adil, bukan hanya sekadar rangkaian surat peringatan.
Raka menyampaikan bahwa warga telah mengajukan permohonan dialog kepada DPRD DIY, DPRD Kota Yogyakarta, dan juga Keraton Yogyakarta.
“Kami hanya menuntut hak atas tempat tinggal dan penghidupan yang layak. Itu bukan permintaan, itu amanat Undang-Undang Dasar 1945,” tegas Raka.
Surat keberatan tersebut rencananya akan dikirimkan ke KAI Daop 6 dan ditembuskan ke berbagai pihak terkait, termasuk lembaga legislatif di tingkat kota dan provinsi.
Warga menegaskan bahwa penghentian sementara proses penertiban menjadi syarat minimal agar mediasi dapat dilanjutkan secara adil dan terbuka.