YOGYAKARTA, POPULI.ID – PT Kereta Api Indonesia (KAI) melakukan pengosongan paksa terhadap satu rumah warga yang masih bertahan di Jalan Hayam Wuruk No. 110, Tegal Lempuyangan, Bausasran, Danurejan, Kota Yogyakarta, Selasa (8/7/2025).
Pengosongan dilakukan sebagai bagian dari proyek beautifikasi yang telah menyingkirkan 13 rumah lainnya lebih dulu.
Berdasarkan pantauan di lokasi, puluhan personel dari PT KAI bersama aparat keamanan mengangkut seluruh isi rumah dan kemudian menutup rumah tersebut dengan pagar seng.
Sementara itu, warga penghuni rumah, Chandrati Paramita (53), mengecam keras tindakan sepihak tersebut.
“PT KAI itu tidak pernah melakukan pendekatan secara manusiawi. Tiba-tiba rumah saya dieksekusi seperti ini. Tidak ada proses komunikasi yang layak,” ujar Chandrati dengan nada getir.
Ia mengaku telah tinggal di rumah tersebut lebih dari 30 tahun bersama keluarganya. Rumah itu, menurutnya, dahulu ditempati oleh almarhum ayahnya sejak tahun 1974.
Chandrati menegaskan bahwa surat pemberitahuan eksekusi baru diterima pada malam sebelum pengosongan.
“Kami baru terima surat semalam, jadi tidak ada persiapan apa-apa,” katanya.
“Kami sudah habiskan banyak biaya merenovasi rumah ini. Mungkin lebih dari satu miliar,” imbuhnya.
Kondisi tersebut membuat keluarga bingung akan nasib mereka selanjutnya.
“Kami delapan bersaudara akan rembukan dulu. Tapi sementara ini ya mungkin numpang di rumah saudara,” ujar Chandrati.
Minta Kejelasan
Sikap warga yang memilih bertahan bukannya tanpa alasan. Menurut Kuasa Hukum warga Tegal Lempuyangan sekaligus Staf Advokasi LBH Yogyakarta, Muhammad Rakha Ramadhan, warga tidak pernah secara tegas menolak pengosongan.
Mereka hanya meminta kejelasan dasar hukum atas klaim kepemilikan lahan oleh PT KAI.
“KAI tidak pernah menunjukkan dasar hukumnya. Warga diminta pindah, dilakukan pengosongan paksa, tapi tidak dijelaskan kenapa mereka harus pergi. Warga jadi bingung karena status lahan ini tidak pernah dijelaskan secara jelas dan sah,” ujar Rakha.
“Kalau betul ini aset KAI, tunjukkan dasarnya. Kalau sudah jelas, warga kami siap pergi tanpa kompensasi pun,” imbuhnya.
Menurut Rakha, warga tidak pernah menuntut besaran ganti rugi, melainkan hanya meminta transparansi informasi dan kepastian hukum.
LBH Yogyakarta juga mempertanyakan dasar penetapan kompensasi yang ditawarkan PT KAI, yang berkisar antara Rp200 ribu hingga Rp10 juta.
“Kami sudah berkali-kali menanyakan regulasinya, tapi tidak pernah dijawab. KAI hanya bilang itu peraturan internal dan bersifat rahasia. Padahal informasi seperti itu seharusnya terbuka,” kata Rakha.
Rakha menilai tindakan PT KAI mencederai prinsip keadilan dan hak asasi manusia.
“Penertiban ini dilakukan dengan pendekatan kuasa. Aparat dikerahkan, tidak ada dialog, dan ruang komunikasi tertutup. Ini jelas perbuatan yang dapat dikategorikan sebagai tindakan melawan hukum,” tegasnya.
“Yogyakarta lagi-lagi menunjukkan wajah kelamnya: penggusuran yang dilakukan tanpa kepastian hukum dan tanpa kemanusiaan. Seharusnya masalah seperti ini diselesaikan lewat dialog dan mediasi, bukan intimidasi dan pemaksaan,” tambahnya.
Pihak warga, lanjut Rakha, akan menempuh jalur hukum baik pidana maupun perdata setelah melakukan analisa lebih lanjut.
“Kami akan telusuri semua indikasi pelanggaran hukum yang terjadi selama proses ini, dan kami siap mencari keadilan lewat jalur hukum,” tegasnya.
Tak Ada Kompensasi
Di sisi lain, Humas PT KAI Daop 6 Yogyakarta, Feni Novida Saragih, menyatakan bahwa pengosongan ini merupakan tindak lanjut dari Surat Peringatan Ketiga (SP 3) yang sebelumnya telah dilayangkan.
“Dari total 14 rumah yang terdampak, 13 rumah sudah setuju mengosongkan secara sukarela. Hanya satu yang belum menyatakan bersedia, sehingga kami lakukan penertiban,” ujar Feni.
“Upaya hukum merupakan hak setiap warga dan kami akan hadapi secara kooperatif,” katanya.
Feni mengklaim bahwa pihaknya telah memberikan seluruh informasi yang diminta warga selama proses sosialisasi.
“Dalam setiap sosialisasi, data yang diminta sudah kami sampaikan,” ujarnya.
Namun, pernyataan tersebut dibantah warga dan kuasa hukumnya yang menyebut proses sosialisasi tidak pernah menjawab pertanyaan mendasar soal legalitas klaim aset oleh KAI.
Juru bicara warga, Antonius Fokki Andrianto, menyesalkan sikap PT KAI yang menurutnya sewenang-wenang.
“Mereka datang bawa massa, langsung masuk, tidak ada dialog. Surat pemberitahuan baru kami terima tadi malam, padahal hari ini langsung dieksekusi,” katanya.
Fokki menambahkan, “PT KAI seharusnya menempuh pendekatan hukum, bukan premanisme. Jangan bertindak seolah-olah bisa melakukan apa saja tanpa dasar hukum yang jelas.”
Kasus pengosongan paksa ini menjadi potret buruk penataan ruang dan relasi kuasa di Yogyakarta yang kerap mengorbankan warga kecil.
Warga Tegal Lempuyangan kini menggantungkan harapannya pada jalur hukum, seraya berharap keadilan masih punya tempat di kota yang menyebut dirinya “berhati nyaman” ini.