YOGYAKARTA, POPULI.ID – Ajang musik gamelan paling bergengsi di Indonesia, Yogyakarta Gamelan Festival (YGF) resmi memasuki edisi ke-30.
Festival ini dibuka pada Senin (21/07/2025) sore di Taman Budaya Embung Giwangan, Yogyakarta, menandai tiga dekade perjalanan gamelan sebagai ruang ekspresi budaya yang terus berkembang dari masa ke masa.
Pembukaan festival tahun ini ditandai dengan pertunjukan kolosal bertajuk Gaung Gamelan yang melibatkan lebih dari 400 penabuh dari 16 kelompok karawitan, termasuk dari 10 Desa Budaya binaan Dinas Kebudayaan (Kundha Kabudayan) DIY serta komunitas-komunitas budaya seperti Gayam16 dan AKNSB.
Tiga komposisi penting yang dibawakan Ladrang Prosesi karya maestro almarhum Sapto Raharjo, Ladrang Wirongrang, dan Mars YeGeEf menjadi simbol harmoni sekaligus pembuka yang megah dalam semangat perayaan warisan budaya.
Kepala Dinas Kebudayaan DIY, Dian Lakshmi Pratiwi, yang hadir mewakili Gubernur DIY Sri Sultan Hamengku Buwono X, menyatakan bahwa YGF tidak hanya menjadi festival musik tradisional, tetapi telah menjelma menjadi ruang pertemuan kreatif yang menyatukan seniman, penikmat seni, dan anak muda dalam semangat kebersamaan.
“Yogyakarta Gamelan Festival telah menjadi denyut nadi pelestarian budaya sejak 1995. Kini, ia bukan sekadar ruang nostalgia, tetapi juga medan kreasi generasi baru. Gamelan bukan sekadar pusaka, tetapi masa depan,” ungkap Dian, Senin (21/7/2025) malam.
Menurutnya, gamelan bukan hanya pusaka masa lalu, melainkan bagian penting dari masa depan yang terus berevolusi.
Ia menekankan bahwa gamelan adalah media ekspresi yang tetap relevan di tengah derasnya arus modernitas—mewakili nilai-nilai spiritualitas, harmoni sosial, dan filosofi kehidupan masyarakat Jawa yang kaya makna.
Direktur Festival, Ishari Sahida atau Ari Wulu, menyebut perayaan 30 tahun YGF sebagai momentum penting dalam memperkenalkan wajah baru gamelan.
“Gamelan kini hadir di ruang digital, video mapping, dan kolaborasi musik kontemporer. YGF adalah ruang terbuka untuk mengekspresikan kreativitas melalui gamelan, baik tradisional maupun eksperimental,” jelas Ari.
Menurutnya, gamelan kini hadir dalam beragam bentuk: dari panggung tradisional hingga eksplorasi digital, seperti video mapping, seni instalasi, dan kolaborasi lintas genre.
Festival ini, menurut Ari, menjadi ruang terbuka bagi para seniman untuk menjajal berbagai bentuk kreativitas, dari yang konvensional hingga eksperimental.
Ari Wulu, yang juga putra mendiang Sapto Raharjo, menyampaikan bahwa peringatan tahun ini sekaligus menjadi tonggak 25 tahun perjalanan Komunitas Gayam16 sebagai penggerak utama YGF.
Selama sepekan penuh, dari 21 hingga 27 Juli 2025, festival ini menghadirkan berbagai program menarik yang menggabungkan unsur seni, teknologi, dan keterlibatan anak muda.
Sejumlah karya kreatif dipertunjukkan, mulai dari video mapping bertajuk 15 Visual 15 Gending di Graha Budaya, konser Aku Anak Muda Main Musik Sekali Itu, instalasi seni dari Komunitas Tempuyungan Gunungkidul, hingga forum-forum seperti Kongres Gamelan dan Lokakarya Gamelan Tanpa Tembok.
Suasana semakin semarak dengan hadirnya pertunjukan dari seniman nasional dan internasional seperti Letto x KiaiKanjeng, Guangxi Arts University dari Tiongkok, Gondrong Gunarto & Friends, Andrew Timar dari Kanada, hingga Gangsadewa Ethnic Ensemble dari Yogyakarta.
Kolaborasi lintas disiplin pun turut meramaikan festival, mulai dari instalasi visual oleh Jompet Kuswidananto hingga eksperimen artistik bersama teknik elektro UGM.
Untuk pertama kalinya, YGF diselenggarakan di Taman Budaya Embung Giwangan, kawasan seni-budaya dan konservasi yang baru diresmikan pada Mei 2025.
Dengan fasilitas yang mendukung dan atmosfer terbuka yang menyatu dengan alam, lokasi ini diharapkan menjadi pusat kegiatan seni-budaya DIY masa depan.
