BANTUL, POPULI.ID – Eskalasi konflik militer antara Thailand dan Kamboja yang terjadi pada Kamis (24/7/2025) kembali menyoroti tantangan serius bagi relevansi Association of Southeast Asian Nations (ASEAN) dan menguji kepemimpinan Indonesia di kawasan ini.
Dosen Hubungan Internasional Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) sekaligus Pakar Studi ASEAN, Zain Maulana, menyatakan bahwa konflik tersebut merupakan dampak dari sengketa klaim wilayah yang tak kunjung usai, mirip dengan sengketa Sipadan dan Ligitan antara Indonesia dan Malaysia di masa lalu.
Meskipun demikian, Indonesia dan Malaysia keduanya proaktif membawa masalah ke persidangan internasional dan menerima hasilnya. Hal ini berbanding terbalik dengan konflik Thailand-Kamboja, di mana masing-masing negara masih berusaha mengklaim tanah di perbatasan.
“Thailand dan Kamboja sudah lama tidak menunjukkan keinginan proaktif untuk menyelesaikan sengketa melalui mekanisme perundingan internasional,” ujar Zain dikutip dari laman UMY, Senin (28/7/2025).
Kendala utama bagi ASEAN dalam memainkan peran yang lebih efektif adalah prinsip non-intervensi yang dianggap kaku, terutama dalam isu kedaulatan dan batas wilayah. Zain menjelaskan bahwa sejak pendiriannya, ASEAN sangat menekankan pada kedaulatan dan integritas teritorial, yang membuat isu-isu tersebut menjadi sangat sensitif.
“Ketika ada negara anggota yang mengalami persoalan dalam isu tersebut, ASEAN cenderung menunggu daripada proaktif mengambil langkah,” tambahnya.
ASEAN baru akan lebih proaktif mengambil tindakan jika diminta langsung oleh pihak yang berkonflik, atau jika intensitas dan skala konflik meningkat, baik dari sisi dampak ekonomi, keamanan, stabilitas politik kawasan, maupun peningkatan jumlah korban. Jika tidak, ASEAN cenderung pasif dan hanya mengeluarkan imbauan normatif.
Peran Krusial Indonesia
Konflik Thailand-Kamboja ini menjadi “ujian terbesar” bagi sentralitas ASEAN dan doktrin komunitas ASEAN yang bertujuan untuk membangun kawasan damai dan kondusif. Jika negara anggota memilih menyelesaikan masalah dengan kekerasan, fungsi komunitas ASEAN akan dipertanyakan.
Dalam konteks ini, Zain Maulana menekankan peran vital Indonesia, yang secara tradisional dianggap sebagai pemimpin ASEAN karena Indonesia merupakan salah satu pendiri ASEAN. Oleh karena itu, Indonesia memiliki beban moral untuk mendorong ASEAN agar terus menjaga relevansi dan eksistensinya sebagai komunitas persaudaraan lintas batas.
“Walaupun Indonesia memiliki banyak ‘mainan’ baru di luar sana seperti BRICS dan lainnya, kasus ini semakin menunjukkan bahwa peran Indonesia di ASEAN tidak bisa ditinggalkan,” ujarnya.
Indonesia, sebagai salah satu pendiri dan pemimpin kultural ASEAN, memiliki pertaruhan besar untuk mendorong ASEAN agar tetap relevan. Zain menyoroti bagaimana diplomasi Presiden Prabowo Subianto, yang memiliki latar belakang pertahanan dan militer yang kuat, akan menjadi menarik dalam menyikapi isu ini.
“Seharusnya ini menjadi pertaruhan. Bagaimana Prabowo menuntun atau terlibat dalam isu ini dengan menggunakan ASEAN,” pungkas Zain, meyakini bahwa Indonesia memiliki potensi terbesar untuk mendorong perdamaian dan penyelesaian masalah ini di level ASEAN.