• Tentang Kami
Saturday, August 2, 2025
populi.id
No Result
View All Result
  • Login
  • HOME
  • NEWS
    • GLOBAL
    • NASIONAL
    • POLITAINMENT
  • SLEMAN
  • BANTUL
  • KOTA YOGYAKARTA
  • KULON PROGO
  • GUNUNGKIDUL
  • JATENG
    • KEDU
    • SOLO RAYA
  • BISNIS
  • UMKM
  • SIKAP
  • PSS SLEMAN
  • URBAN
    • SPORT
      • LIGA
    • CENDEKIA
    • KESEHATAN
    • KULTUR
    • LIFESTYLE
    • OTOMOTIF
    • TEKNO
  • HOME
  • NEWS
    • GLOBAL
    • NASIONAL
    • POLITAINMENT
  • SLEMAN
  • BANTUL
  • KOTA YOGYAKARTA
  • KULON PROGO
  • GUNUNGKIDUL
  • JATENG
    • KEDU
    • SOLO RAYA
  • BISNIS
  • UMKM
  • SIKAP
  • PSS SLEMAN
  • URBAN
    • SPORT
      • LIGA
    • CENDEKIA
    • KESEHATAN
    • KULTUR
    • LIFESTYLE
    • OTOMOTIF
    • TEKNO
No Result
View All Result
populi.id
No Result
View All Result
Home headline

Jurang Angka Kemiskinan: BPS vs Bank Dunia

Dalam konteks pembangunan berbasis bukti (evidence-based policy), kualitas, akurasi, dan keterbukaan data menjadi fondasi utama. Tanpa reformasi data yang serius dan penguatan sistem distribusi, upaya pengentasan kemiskinan berisiko gagal menyasar mereka yang paling membutuhka dan gagal memenuhi janji keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Rahadian BagusbyRahadian Bagus
July 31, 2025
in headline, Politainment
Reading Time: 4 mins read
A A
0
Jurang Angka Kemiskinan: BPS vs Bank Dunia
0
SHARES
3
VIEWS
Share on FacebookShare on TwitterShare via WhatsApp

POPULI.ID – Perbedaan angka kemiskinan yang dirilis Bank Dunia dan Badan Pusat Statistik (BPS) mengundang perhatian publik.

Menurut Bank Dunia, sebanyak 68,3 persen atau sekitar 194,72 juta penduduk Indonesia masuk kategori miskin pada 2024.

BERITA MENARIK LAINNYA

BPS Sebut Kelompok Pendidikan Jadi Penyumbang Utama Inflasi DIY Selama Bulan Juli 2025

Data Kemiskinan Terlambat Dirilis, Pakar UGM Ingatkan Soal Integritas dan Kredibilitas

Sementara itu, BPS mencatat angka jauh lebih rendah, yakni 8,47 persen atau 23,85 juta orang pada Maret 2025.

Dosen di Prodi Administrasi Negara Universitas Pamulang, Heru Wahyudi menyebut perbedaan angka tersebut bukan karena datanya salah, melainkan metodologi yang digunakan berbeda secara mendasar.

Bank Dunia memperbarui standar garis kemiskinan global pada Juni 2025 menggunakan pendekatan Purchasing Power Parities (PPP) 2021.

Akibatnya, garis kemiskinan Indonesia naik dari US\$6,85 menjadi US\$8,30 per hari, yang setara dengan sekitar Rp1,5 juta per bulan.

Peningkatan ini otomatis membuat jumlah warga yang dikategorikan miskin melonjak signifikan.

Sementara itu, BPS tetap menggunakan metode kebutuhan dasar Cost of Basic Needs (CBN) yang lebih kontekstual terhadap kondisi dalam negeri.

Metode ini menghitung kebutuhan minimum hidup layak, termasuk asupan 2.100 kalori per hari, serta biaya pendidikan, tempat tinggal, dan transportasi.

Garis kemiskinan nasional pada Maret 2025 ditetapkan sebesar Rp609.160 per orang per bulan, jauh di bawah standar Bank Dunia.

Dua Perspektif, Dua Realitas

Dalam artikel yang ditulis Heru dan ditayangkan di rubrik kolom di detik.com, dia menyebut perbedaan ini bukan soal siapa yang benar atau salah, melainkan soal perbedaan sudut pandang.

Bank Dunia mengadopsi perspektif global yang memperhitungkan daya beli antarnegara.

Karena Indonesia kini masuk kategori negara berpendapatan menengah atas (Upper Middle Income Country), maka standar kemiskinannya otomatis meningkat.

Di sisi lain, pendekatan BPS lebih membumi dan sesuai dengan realitas konsumsi rumah tangga di Indonesia.

Data ini menjadi dasar perumusan kebijakan domestik, seperti Program Keluarga Harapan (PKH), KIS, dan program bansos lainnya yang mengandalkan Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS).

Meski demikian, data Bank Dunia tetap penting sebagai tolok ukur internasional.

Standar global diperlukan untuk kepentingan pembanding antarnegara dan menjadi acuan lembaga donor internasional dalam menilai kualitas hidup dan kebutuhan bantuan.

Intinya, data BPS dan Bank Dunia mencerminkan dua pendekatan berbeda.

Yang satu menggambarkan standar hidup ideal secara global, sementara yang lain berfokus pada realitas lokal.

Keduanya valid dalam konteks masing-masing, tetapi bisa menyesatkan jika digunakan tanpa pemahaman mendalam.

Kapitalisme vs Ekonomi Kerakyatan

Indonesia berada di persimpangan ideologis.

Di atas kertas, kita menganut ekonomi kerakyatan seperti tertuang dalam Pasal 33 UUD 1945.

Namun dalam praktik, sistem ekonomi kapitalistik justru lebih dominan.

Hal ini kembali menghidupkan perdebatan klasik, mana yang lebih efektif dalam mengurangi kemiskinan dan menciptakan keadilan ekonomi?

Ekonomi kerakyatan yang berlandaskan Pancasila menempatkan rakyat sebagai pelaku utama.

Produksi vital dikuasai negara, koperasi dan UMKM menjadi penggerak utama, dan pemerintah berperan sebagai pelindung kepentingan rakyat.

UMKM, yang menyerap 97 persen tenaga kerja dan menyumbang 60 persen PDB, membuktikan bahwa pendekatan ini bukan sekadar wacana.

Namun di sisi lain, arus kapitalisme terus menguat.

Privatisasi BUMN, pencabutan subsidi, dan kebijakan pro-investor menjadi bukti.

Akibatnya, kekayaan semakin terkonsentrasi.

Data Oxfam tahun 2017 mencatat, empat orang terkaya di Indonesia memiliki kekayaan setara dengan 100 juta rakyat termiskin.

Pada 2025, tren ini semakin nyata. Menurut CNBC Indonesia (23/7/2025), grup-grup konglomerat terus mencaplok aset bernilai triliunan rupiah.

Kapitalisme memberi peluang akumulasi modal besar bagi segelintir elite, sementara rakyat kecil dan UMKM terpinggirkan.

Kapitalisme memang menjanjikan pertumbuhan ekonomi cepat, tetapi distribusi keuntungannya minim.

Sebaliknya, ekonomi kerakyatan mungkin tidak menampilkan angka-angka makro yang spektakuler, tetapi lebih mampu menopang kehidupan ekonomi rakyat bawah secara berkelanjutan.

Terbukti, dari krisis 1998 hingga masa pandemi, UMKM tetap tangguh.

Perbedaan data kemiskinan antara BPS (8,47 persen) dan Bank Dunia (68,3 persen) mencerminkan paradoks ini: pertumbuhan ekonomi bukan jaminan pemerataan kesejahteraan.

Wajah Kemiskinan Struktural

Kemiskinan di Indonesia bukan sekadar persoalan ekonomi, melainkan soal siapa yang menguasai sumber daya dan bagaimana kekuasaan didistribusikan.

Sistem ekonomi-politik yang oligarkis menciptakan struktur timpang, segelintir elite menguasai aset vital, mulai dari tambang, bank, hingga media, sehingga leluasa membentuk kebijakan sesuai kepentingannya.

Tempo.co (26/9/2024) mencatat bahwa kekayaan 50 orang terkaya di Indonesia setara dengan milik 50 juta warga termiskin.

Tak heran jika Indonesia berada di antara empat negara dengan ketimpangan tertinggi di dunia.

Masalah ini juga mencuat dalam distribusi bantuan sosial yang kerap tidak tepat sasaran.

Pejabat lokal lebih memilih menyalurkan bansos ke jaringan politiknya daripada ke warga miskin yang membutuhkan.

Ketimpangan makin tajam karena kebijakan publik cenderung pro-konglomerat, subsidi dicabut, sektor kecil terabaikan.

Alih-alih membangun kemandirian, pemerintah justru terjebak dalam pendekatan karitatif semata.

Program seperti Raskin hanya memperpanjang ketergantungan, tanpa menyentuh akar kemiskinan struktural.

Padahal, sejak 2014 hingga 2024, hampir Rp4.000 triliun telah digelontorkan untuk perlindungan sosial, tetapi dampaknya belum signifikan.

Akibatnya, distribusi bantuan di lapangan pun bermasalah.

Bias dalam pendataan, praktik birokrasi lapangan yang tidak transparan, dan lemahnya koordinasi antarinstansi membuat banyak bantuan tidak sampai ke tangan yang tepat.

Pandemi COVID-19 menjadi bukti nyata rapuhnya sistem ekonomi kita dan ketidakmampuan negara merespons krisis secara cepat dan menyeluruh.

Krisis Akurasi Data

Sementara itu, menurut pakar Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan dari FISIPOL UGM, Nurhadi, Ph.D, perbedaan tajam antara angka kemiskinan versi BPS (8,47 persen) dan Bank Dunia (68,3 persen) mencerminkan krisis akurasi data yang berdampak langsung pada efektivitas kebijakan publik.

Jika data yang digunakan terlalu optimistis, maka alokasi anggaran perlindungan sosial berisiko jauh di bawah kebutuhan riil.

Nurhadi menyebut, keterlambatan atau perbedaan data versi BPS dan Bank Dunia bisa dilihat dari dua sisi.

Ia mengapresiasi jika penundaan disebabkan oleh upaya peningkatan kualitas dan harmonisasi standar global.

Namun, ia menekankan pentingnya transparansi.

“Kalaupun ada penundaan, harus ada komunikasi yang jelas. Metodologi, validitas, dan alasan teknis lain harus terbuka,” ujarnya, Kamis (31/7) dilansir dari ugm.ac.id

Nurhadi mengingatkan, keterlambatan data menyimpan risiko besar, yakni kekosongan informasi dalam siklus perencanaan kebijakan.

“Ketika data ditunda, intervensi kebijakan bisa meleset karena mengacu pada data lama,” katanya.

Ia juga menyoroti potensi turunnya kepercayaan publik terhadap BPS jika keterbukaan tidak dijaga, terlebih di tahun-tahun politik.

“Di era literasi digital saat ini, publik semakin peka,” tambahnya.

Lebih lanjut, Nurhadi menegaskan pentingnya menjaga independensi BPS dari tekanan politik.

“Data statistik bukan milik pemerintah, tapi milik publik. Pemerintah hanya diberi mandat untuk mengelola dan merilisnya dengan dana rakyat,” tegasnya.

Terkait isi data, Nurhadi menilai garis kemiskinan Indonesia saat ini terlalu rendah dan tidak mencerminkan realitas sosial-ekonomi masyarakat.

“Dengan standar sekitar Rp600 ribu per bulan per orang, banyak yang miskin tapi tak terdata,” jelasnya.

Ia menyarankan agar adopsi standar global dilakukan bertahap dengan roadmap yang jelas.

Oleh karena itu, dia juga mendorong pendekatan berbasis pemberdayaan ekonomi, bukan sekadar bantuan sosial jangka pendek.

“Rilis data bukan semata tugas teknis tahunan, tapi hak publik yang memungkinkan warga menilai kinerja negara,” tutup Nurhadi.

 

 

Tags: angka kemiskinanBadan Pusat StatistikBank DuniaBPSekonomi kerakyatankaptilasimenkemiskinanmiskinopinipengangguranUMKM

Related Posts

Ilustrasi Pendidikan Nasional

BPS Sebut Kelompok Pendidikan Jadi Penyumbang Utama Inflasi DIY Selama Bulan Juli 2025

August 1, 2025
Ilustrasi kemiskinan

Data Kemiskinan Terlambat Dirilis, Pakar UGM Ingatkan Soal Integritas dan Kredibilitas

August 1, 2025
Sigit Rianto, penjual kopin keliling asal Banguntapan, Bantul di Jalan Kenari Yogyakarta saat ditemui, Rabu (30/7/2025). (Hadid Pangestu)

Cerita Penjual Kopi Keliling di Jogja: Batas Kemiskinan Rp20 Ribu per Hari Tak Cerminkan Realita

July 30, 2025
Komisi B DPRD Sleman melakukan kunjungan ke sejumlah pelaku UMKM di kawasan lereng Merapi, Selasa (29/7/2025)

Kunjungi Pelaku UMKM di Lereng Merapi, Komisi B DPRD Sleman Dorong Promosi dan Pengembangan Produk Lokal

July 29, 2025
Talkshow Srawung Sleman bertajuk Sudahkah UMKM di Sleman Naik Kelas?

DPRD Sleman Siap Kawal Anggaran dan Kebijakan Agar UMKM Naik Kelas

July 22, 2025
Kemensos RI gandeng 16 perguruan tinggi di DIY dukung percepatan pengentasan kemiskinan

Kemensos Gandeng 16 PT di DIY Dukung Program Percepatan Penanganan Kemiskinan

July 17, 2025
Next Post
Area parkir di depan Gedung Kantor Gubernur DIY yang beberapa waktu lalu sempat geger karena ada parkir nuthuk

Viral Parkir Nuthuk di Depan Kantor Gubernur DIY, Jukir Kena Teguran

Leave a Reply Cancel reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

No Result
View All Result

TERPOPULER

Ilustrasi SMP di Sleman

8 SMP Terbaik di Sleman yang Bisa Jadi Pilihan

June 4, 2025
Berikut 10 SMP unggulan di Bantul yang bisa dijadikan acuan sebelum mendaftar SPBM 2025.

Inilah 7 SMP Unggulan di Bantul yang Paling Diburu Jelang SPMB 2025

June 9, 2025
Para ojol dari berbagai aplikasi menggelar aksi di kawasan Titik Nol Kilometer bertajuk Kebangkitan Transportasi Online, Selasa (20/5/2025).

Aksi Ojol Turun ke Jalan Direspons, Sekda DIY Sambut Aspirasi Soal Regulasi dan Kesejahteraan

May 21, 2025
Kabupaten Bantul memiliki sejumlah Sekolah Menengah Pertama (SMP) yang menjadi incaran para pendaftar.

10 SMP Favorit di Bantul: Pilihan Terbaik Sekolah Negeri dan Swasta

June 18, 2025
Satu diantara SMA terbaik di Bantul yakni SMA N 1 Bantul

10 SMA Terbaik di Bantul, Rekomendasi bagi Pencari Sekolah

June 4, 2025

Subscribe

  • Tentang Kami
  • Redaksi
  • Pedoman Media Siber
  • Privacy Policy
Copyright ©2025 | populi.id

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password?

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist

No Result
View All Result
  • HOME
  • NEWS
    • GLOBAL
    • NASIONAL
    • POLITAINMENT
  • SLEMAN
  • BANTUL
  • KOTA YOGYAKARTA
  • KULON PROGO
  • GUNUNGKIDUL
  • JATENG
    • KEDU
    • SOLO RAYA
  • BISNIS
  • UMKM
  • SIKAP
  • PSS SLEMAN
  • URBAN
    • SPORT
      • LIGA
    • CENDEKIA
    • KESEHATAN
    • KULTUR
    • LIFESTYLE
    • OTOMOTIF
    • TEKNO

Copyright ©2025. populi.id - All Right Reserved.