POPULI.ID – Perbedaan angka kemiskinan yang dirilis Bank Dunia dan Badan Pusat Statistik (BPS) mengundang perhatian publik.
Menurut Bank Dunia, sebanyak 68,3 persen atau sekitar 194,72 juta penduduk Indonesia masuk kategori miskin pada 2024.
Sementara itu, BPS mencatat angka jauh lebih rendah, yakni 8,47 persen atau 23,85 juta orang pada Maret 2025.
Dosen di Prodi Administrasi Negara Universitas Pamulang, Heru Wahyudi menyebut perbedaan angka tersebut bukan karena datanya salah, melainkan metodologi yang digunakan berbeda secara mendasar.
Bank Dunia memperbarui standar garis kemiskinan global pada Juni 2025 menggunakan pendekatan Purchasing Power Parities (PPP) 2021.
Akibatnya, garis kemiskinan Indonesia naik dari US\$6,85 menjadi US\$8,30 per hari, yang setara dengan sekitar Rp1,5 juta per bulan.
Peningkatan ini otomatis membuat jumlah warga yang dikategorikan miskin melonjak signifikan.
Sementara itu, BPS tetap menggunakan metode kebutuhan dasar Cost of Basic Needs (CBN) yang lebih kontekstual terhadap kondisi dalam negeri.
Metode ini menghitung kebutuhan minimum hidup layak, termasuk asupan 2.100 kalori per hari, serta biaya pendidikan, tempat tinggal, dan transportasi.
Garis kemiskinan nasional pada Maret 2025 ditetapkan sebesar Rp609.160 per orang per bulan, jauh di bawah standar Bank Dunia.
Dua Perspektif, Dua Realitas
Dalam artikel yang ditulis Heru dan ditayangkan di rubrik kolom di detik.com, dia menyebut perbedaan ini bukan soal siapa yang benar atau salah, melainkan soal perbedaan sudut pandang.
Bank Dunia mengadopsi perspektif global yang memperhitungkan daya beli antarnegara.
Karena Indonesia kini masuk kategori negara berpendapatan menengah atas (Upper Middle Income Country), maka standar kemiskinannya otomatis meningkat.
Di sisi lain, pendekatan BPS lebih membumi dan sesuai dengan realitas konsumsi rumah tangga di Indonesia.
Data ini menjadi dasar perumusan kebijakan domestik, seperti Program Keluarga Harapan (PKH), KIS, dan program bansos lainnya yang mengandalkan Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS).
Meski demikian, data Bank Dunia tetap penting sebagai tolok ukur internasional.
Standar global diperlukan untuk kepentingan pembanding antarnegara dan menjadi acuan lembaga donor internasional dalam menilai kualitas hidup dan kebutuhan bantuan.
Intinya, data BPS dan Bank Dunia mencerminkan dua pendekatan berbeda.
Yang satu menggambarkan standar hidup ideal secara global, sementara yang lain berfokus pada realitas lokal.
Keduanya valid dalam konteks masing-masing, tetapi bisa menyesatkan jika digunakan tanpa pemahaman mendalam.
Kapitalisme vs Ekonomi Kerakyatan
Indonesia berada di persimpangan ideologis.
Di atas kertas, kita menganut ekonomi kerakyatan seperti tertuang dalam Pasal 33 UUD 1945.
Namun dalam praktik, sistem ekonomi kapitalistik justru lebih dominan.
Hal ini kembali menghidupkan perdebatan klasik, mana yang lebih efektif dalam mengurangi kemiskinan dan menciptakan keadilan ekonomi?
Ekonomi kerakyatan yang berlandaskan Pancasila menempatkan rakyat sebagai pelaku utama.
Produksi vital dikuasai negara, koperasi dan UMKM menjadi penggerak utama, dan pemerintah berperan sebagai pelindung kepentingan rakyat.
UMKM, yang menyerap 97 persen tenaga kerja dan menyumbang 60 persen PDB, membuktikan bahwa pendekatan ini bukan sekadar wacana.
Namun di sisi lain, arus kapitalisme terus menguat.
Privatisasi BUMN, pencabutan subsidi, dan kebijakan pro-investor menjadi bukti.
Akibatnya, kekayaan semakin terkonsentrasi.
Data Oxfam tahun 2017 mencatat, empat orang terkaya di Indonesia memiliki kekayaan setara dengan 100 juta rakyat termiskin.
Pada 2025, tren ini semakin nyata. Menurut CNBC Indonesia (23/7/2025), grup-grup konglomerat terus mencaplok aset bernilai triliunan rupiah.
Kapitalisme memberi peluang akumulasi modal besar bagi segelintir elite, sementara rakyat kecil dan UMKM terpinggirkan.
Kapitalisme memang menjanjikan pertumbuhan ekonomi cepat, tetapi distribusi keuntungannya minim.
Sebaliknya, ekonomi kerakyatan mungkin tidak menampilkan angka-angka makro yang spektakuler, tetapi lebih mampu menopang kehidupan ekonomi rakyat bawah secara berkelanjutan.
Terbukti, dari krisis 1998 hingga masa pandemi, UMKM tetap tangguh.
Perbedaan data kemiskinan antara BPS (8,47 persen) dan Bank Dunia (68,3 persen) mencerminkan paradoks ini: pertumbuhan ekonomi bukan jaminan pemerataan kesejahteraan.
Wajah Kemiskinan Struktural
Kemiskinan di Indonesia bukan sekadar persoalan ekonomi, melainkan soal siapa yang menguasai sumber daya dan bagaimana kekuasaan didistribusikan.
Sistem ekonomi-politik yang oligarkis menciptakan struktur timpang, segelintir elite menguasai aset vital, mulai dari tambang, bank, hingga media, sehingga leluasa membentuk kebijakan sesuai kepentingannya.
Tempo.co (26/9/2024) mencatat bahwa kekayaan 50 orang terkaya di Indonesia setara dengan milik 50 juta warga termiskin.
Tak heran jika Indonesia berada di antara empat negara dengan ketimpangan tertinggi di dunia.
Masalah ini juga mencuat dalam distribusi bantuan sosial yang kerap tidak tepat sasaran.
Pejabat lokal lebih memilih menyalurkan bansos ke jaringan politiknya daripada ke warga miskin yang membutuhkan.
Ketimpangan makin tajam karena kebijakan publik cenderung pro-konglomerat, subsidi dicabut, sektor kecil terabaikan.
Alih-alih membangun kemandirian, pemerintah justru terjebak dalam pendekatan karitatif semata.
Program seperti Raskin hanya memperpanjang ketergantungan, tanpa menyentuh akar kemiskinan struktural.
Padahal, sejak 2014 hingga 2024, hampir Rp4.000 triliun telah digelontorkan untuk perlindungan sosial, tetapi dampaknya belum signifikan.
Akibatnya, distribusi bantuan di lapangan pun bermasalah.
Bias dalam pendataan, praktik birokrasi lapangan yang tidak transparan, dan lemahnya koordinasi antarinstansi membuat banyak bantuan tidak sampai ke tangan yang tepat.
Pandemi COVID-19 menjadi bukti nyata rapuhnya sistem ekonomi kita dan ketidakmampuan negara merespons krisis secara cepat dan menyeluruh.
Krisis Akurasi Data
Sementara itu, menurut pakar Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan dari FISIPOL UGM, Nurhadi, Ph.D, perbedaan tajam antara angka kemiskinan versi BPS (8,47 persen) dan Bank Dunia (68,3 persen) mencerminkan krisis akurasi data yang berdampak langsung pada efektivitas kebijakan publik.
Jika data yang digunakan terlalu optimistis, maka alokasi anggaran perlindungan sosial berisiko jauh di bawah kebutuhan riil.
Nurhadi menyebut, keterlambatan atau perbedaan data versi BPS dan Bank Dunia bisa dilihat dari dua sisi.
Ia mengapresiasi jika penundaan disebabkan oleh upaya peningkatan kualitas dan harmonisasi standar global.
Namun, ia menekankan pentingnya transparansi.
“Kalaupun ada penundaan, harus ada komunikasi yang jelas. Metodologi, validitas, dan alasan teknis lain harus terbuka,” ujarnya, Kamis (31/7) dilansir dari ugm.ac.id
Nurhadi mengingatkan, keterlambatan data menyimpan risiko besar, yakni kekosongan informasi dalam siklus perencanaan kebijakan.
“Ketika data ditunda, intervensi kebijakan bisa meleset karena mengacu pada data lama,” katanya.
Ia juga menyoroti potensi turunnya kepercayaan publik terhadap BPS jika keterbukaan tidak dijaga, terlebih di tahun-tahun politik.
“Di era literasi digital saat ini, publik semakin peka,” tambahnya.
Lebih lanjut, Nurhadi menegaskan pentingnya menjaga independensi BPS dari tekanan politik.
“Data statistik bukan milik pemerintah, tapi milik publik. Pemerintah hanya diberi mandat untuk mengelola dan merilisnya dengan dana rakyat,” tegasnya.
Terkait isi data, Nurhadi menilai garis kemiskinan Indonesia saat ini terlalu rendah dan tidak mencerminkan realitas sosial-ekonomi masyarakat.
“Dengan standar sekitar Rp600 ribu per bulan per orang, banyak yang miskin tapi tak terdata,” jelasnya.
Ia menyarankan agar adopsi standar global dilakukan bertahap dengan roadmap yang jelas.
Oleh karena itu, dia juga mendorong pendekatan berbasis pemberdayaan ekonomi, bukan sekadar bantuan sosial jangka pendek.
“Rilis data bukan semata tugas teknis tahunan, tapi hak publik yang memungkinkan warga menilai kinerja negara,” tutup Nurhadi.