Majelis Kehormatan Dewan yang Mulia dan saya hormati,
Izinkan saya, seorang rakyat biasa, tanpa gelar kehormatan, tanpa kuasa, tanpa kedudukan, hanya butiran debu di tanah negeri ini, menyampaikan suara hati melalui surat terbuka ini.
Saya menulis bukan lewat saluran resmi, sebab saya memang tidak memilikinya.
Saya menulis di ruang publik, di media sosial, karena hanya di sinilah tersisa sedikit ruang yang bisa ditempati oleh suara rakyat yang sering dibungkam dan diabaikan.
Pada tanggal 15 Agustus lalu, bangsa ini dipaksa menyaksikan ironi: Sidang Tahunan MPR yang seharusnya menjadi ruang sakral, tempat tertinggi perwakilan rakyat berjumpa dengan mandat konstitusi, justru berubah menjadi panggung joget.
Alih-alih menampilkan kewibawaan, sebagian anggota DPR RI berlenggak-lenggok, menari-nari di ruang yang seharusnya dijaga kehormatannya.
Joget itu bukan hiburan, melainkan penghinaan. Joget itu adalah tawa di atas tangis rakyat, pesta di atas kuburan penderitaan bangsa.
Majelis Kehormatan Dewan tentu sudah membaca sendiri gelombang amarah rakyat di media sosial.
Dari rakyat kecil yang mengais sisa makanan di tong sampah, dari buruh yang bekerja siang malam demi sesuap nasi, dari anak-anak muda yang menganggur, hingga keluarga yang dicekik pajak dan harga kebutuhan hidup.
Mereka semua satu suara: jijik. Perilaku itu bukan sekadar “kurang pantas,” melainkan pelanggaran etika berat, sebuah contempt of parliament yang merobek kehormatan lembaga.
Dalam teori ketatanegaraan, parlemen disebut the temple of democracy, kuil tempat kedaulatan rakyat bersemayam.
Tetapi bagaimana rakyat bisa percaya kepada “kuil” yang imam-imamnya lebih sibuk berjoget daripada menjaga marwah?
Bagaimana rakyat bisa hormat kepada wakil yang justru menari di atas penderitaan yang mereka wakili? Montesquieu pernah berkata, “Kekuasaan tanpa kontrol adalah jalan menuju tirani.”
Saya tambahkan: Parlemen tanpa etika adalah lorong menuju kehinaan.
Joget itu bukan sekadar kelakuan pribadi, ia adalah pengkhianatan simbolis terhadap amanat konstitusi.
Teori terbaru dalam etika parlemen menekankan continuity of dignity—kesinambungan kehormatan yang wajib dijaga, baik melalui kata, sikap, maupun ekspresi. Sekali kehormatan itu ternoda, maka rusaklah kepercayaan rakyat.
Majelis Kehormatan Dewan, diam Anda akan ditafsirkan sebagai restu, ragu Anda akan dibaca sebagai kelemahan, dan bungkam Anda akan dikenang sebagai pengkhianatan.
Rakyat sedang melihat, mencatat, dan mengingat. Jangan sampai MKD menorehkan sejarah kelam sebagai pelindung aib, bukan penjaga marwah.
Saya bukan siapa-siapa. Saya hanyalah seorang warganegara tanpa nama, tanpa jabatan, tanpa gelar akademik.
Tetapi justru dari posisi itulah suara ini lebih jujur, lebih murni, dan lebih keras.
Saya tidak menulis karena ambisi, saya menulis karena marah.
Marah melihat negeri ini dipermainkan oleh wakil yang mestinya menjaga kehormatannya.
Marah melihat penderitaan rakyat dijadikan panggung tarian.
Saya menuntut, dengan sekeras-kerasnya: Berikan sanksi nyata kepada anggota DPR RI yang menjadikan sidang negara sebagai panggung joget.
Jangan biarkan lembaga perwakilan berubah menjadi sirkus.
Demokrasi bukanlah pesta pora, melainkan tanggung jawab.
Biarlah surat terbuka ini menjadi saksi: bahwa di tengah kemiskinan, kelaparan, dan kesengsaraan rakyat, masih ada suara yang menolak tunduk pada kebusukan.
Saya hanyalah butiran debu, tetapi ingatlah, bila debu berkumpul, ia bisa menjadi badai yang menggulung segala kehinaan.
Hormat saya,
Seorang Rakyat Biasa
Yang Tak punya posisi apa pun, kecuali hak untuk marah dan bersuara
Benediktus Hestu Cipto Handoyo
(Ditulis oleh : Dosen Hukum Tata Negara Universitas Atma Jaya Yogyakarta Benediktus Hestu Cipto Handoyo)












