POPULI.ID – Pemerintah berencana menyesuaikan tarif iuran BPJS Kesehatan pada 2026. Rencana tersebut tercantum dalam Buku II Nota Keuangan serta Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2026.
Kenaikan iuran tidak akan dilakukan sekaligus, melainkan bertahap dengan mempertimbangkan kemampuan masyarakat dan kondisi fiskal negara.
Menteri Keuangan Sri Mulyani menilai penyesuaian tarif menjadi keharusan agar program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) tetap berkelanjutan dan mampu menjangkau masyarakat luas.
Sri Mulyani menekankan pentingnya keseimbangan dalam skema pendanaan antara peserta, pemerintah pusat, dan pemerintah daerah.
“Dalam kerangka pendanaan, skema pembiayaan perlu disusun secara komprehensif untuk menjaga keseimbangan kewajiban antara tiga pilar utama yakni masyarakat/peserta, pemerintah pusat, dan pemerintah daerah,” tulisnya dalam nota keuangan, dikutip Senin (18/8).
“Untuk itu, penyesuaian [kenaikan] iuran dapat dilakukan secara bertahap dengan mempertimbangkan daya beli masyarakat dan kondisi fiskal pemerintah. Pendekatan bertahap ini penting untuk meminimalisir gejolak sekaligus menjaga keberlanjutan program,” jelas Sri Mulyani.
Selain iuran, pemerintah juga menyoroti pentingnya menjaga arus kas Dana Jaminan Sosial (DJS) Kesehatan.
Berbagai opsi pembiayaan kreatif seperti supply chain financing disebut bisa dimanfaatkan.
Kebijakan ini diperkirakan berdampak besar pada APBN, khususnya terkait alokasi untuk penerima bantuan iuran (PBI), subsidi bagi peserta mandiri kelas III, serta kewajiban pembayaran iuran pegawai negeri.
Sri Mulyani menambahkan, koordinasi antar Kementerian/Lembaga menjadi kunci agar kebijakan berjalan efektif.
“Melalui sinergi kebijakan antar Kementerian/Lembaga terkait yang mencakup perbaikan tata kelola, penataan pendanaan, dan penyesuaian bertahap ini, stabilitas DJS Kesehatan dapat terjaga sehingga program JKN tetap berkelanjutan dan memberikan manfaat optimal bagi seluruh lapisan masyarakat,” tulisnya.
Sebelumnya, Direktur Utama BPJS Kesehatan, Ali Ghufron Mukti, menyatakan pihaknya telah menyiapkan perhitungan untuk skenario kenaikan tarif, namun detailnya masih menunggu keputusan pemerintah.
Sementara itu, Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin menilai penyesuaian tarif sudah mendesak.
Ia menyinggung bahwa selama lima tahun terakhir iuran BPJS Kesehatan tidak mengalami kenaikan, padahal pengeluaran kesehatan masyarakat terus meningkat sekitar 15 persen per tahun.
“Sama saja kita ada inflasi 5 persen, gaji pegawai atau menteri tidak boleh naik selama 5 tahun, itu kan agak menyedihkan juga kalau kita bilang ke karyawan atau supir kita gak naik 5 tahun padahal inflasi 15 persen kan enggak mungkin,”* kata Budi dalam rapat di DPR pada Februari lalu.
Budi menjelaskan, belanja kesehatan bahkan tumbuh lebih tinggi dibanding Produk Domestik Bruto (PDB).
Pada 2023, total belanja kesehatan mencapai Rp614,5 triliun, naik 8,2 persen dari tahun sebelumnya yang sebesar Rp567,7 triliun.
Tren ini juga terlihat sebelum pandemi, misalnya pada 2018 belanja kesehatan naik 6,2 persen dari Rp421,8 triliun menjadi Rp448,1 triliun.
Ia mengingatkan, kenaikan belanja kesehatan yang lebih cepat daripada pertumbuhan ekonomi berisiko mengganggu keberlanjutan fiskal.
“Kita hati-hati bapak ibu bahwa pertumbuhan belanja nasional itu selalu di atas pertumbuhan GDP, itu akibatnya tidak sustain bapak ibu,”tegasnya.