YOGYAKARTA, POPULI.ID – Siapa sangka, pelepah pisang yang selama ini dianggap sampah ternyata bisa disulap menjadi pot tanam ramah lingkungan dengan nilai ekonomi tinggi.
Inovasi ini lahir dari tangan-tangan kreatif empat mahasiswa Universitas Gadjah Mada (UGM) yang menjawab tantangan limbah organik dengan ide segar dan berkelanjutan.
Mereka adalah Oudy Nur Syafitri (Prodi Pengembangan Produk Agroindustri, Sekolah Vokasi), Vanya Khairunisa dan Aliya Sarma Nela (Teknologi Pangan dan Hasil Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian), serta Lanang Tsaqif Hakim (Manajemen, Fakultas Ekonomika dan Bisnis).
Keempatnya tergabung dalam Program Kreativitas Mahasiswa bidang Kewirausahaan (PKM-K) dan mendapat bimbingan dari Dr. Eng. Annie Mufyda Rahmatika, S.T., M.T.
Dari keresahan terhadap limbah pelepah pisang yang melimpah dan kurang dimanfaatkan, lahirlah ‘PaPipot’ singkatan dari Pelepah Pisang Pot, sebuah polybag semai biodegradable yang tak hanya ramah lingkungan, tetapi juga mendukung pertanian berkelanjutan.
“Pohon pisang hanya berbuah sekali seumur hidup, lalu mati. Limbah pelepahnya seringkali dibiarkan begitu saja. Padahal, kandungannya seperti nitrogen, kalsium, dan fosfor sangat bermanfaat untuk tanah dan tanaman,” jelas Oudy, Senin (15/9), di Sekolah Vokasi UGM.
PaPipot tidak sekadar pengganti polybag plastik.
Produk ini dibuat dari campuran pelepah pisang dan jerami padi, dua jenis limbah pertanian yang selama ini jarang diolah secara maksimal.
Ditambah dengan ekstrak jeruk dan serai sebagai pengusir hama alami, pot ini sekaligus memberikan perlindungan biologis bagi tanaman.
Teknologi air-pruning yang diterapkan juga membuat akar tanaman tumbuh lebih sehat, bercabang sempurna, dan menyerap nutrisi lebih optimal.
Menariknya, karena bersifat biodegradable, PaPipot bisa langsung ditanam ke dalam tanah bersama bibitnya tanpa perlu dilepas, mengurangi stres tanaman sekaligus meminimalkan sampah.
“Kami ingin menghadirkan solusi sederhana namun berdampak besar. Petani atau penghobi tanaman tidak perlu lagi repot mengeluarkan bibit dari polybag plastik. Ini mempermudah sekaligus mendukung pelestarian lingkungan,” ujar Oudy.
Inovasi ini kini sudah dipasarkan secara daring lewat e-commerce dan juga dijajakan di berbagai event kewirausahaan.
Respons publik cukup positif, terutama dari komunitas petani organik dan pegiat lingkungan.
Melalui PaPipot, tim berharap bisa mendorong pergeseran besar dari penggunaan plastik ke produk organik dalam dunia pertanian.
Mereka juga ingin menunjukkan bahwa limbah bukanlah akhir dari nilai suatu benda, melainkan bisa menjadi awal dari solusi yang berdampak.
Kisah empat mahasiswa UGM ini menjadi bukti bahwa inovasi tak selalu datang dari teknologi canggih.
Terkadang, ia lahir dari rasa peduli terhadap lingkungan dan kemauan untuk mengubah masalah menjadi peluang.
PaPipot bukan sekadar produk ini adalah gerakan kecil menuju pertanian yang lebih hijau dan berkelanjutan.