Di tengah hiruk pikuk sisi selatan Kota Yogyakarta, megahnya hotel dan penginapan mewah, masih ada segudang persoalan kawasan penduduknya.
Diantara banyaknya wisatawan mancanegara yang menikmati gemerlapnya hiburan di Prawirotaman, masih ada warga asli Yogyakarta yang masih tinggal di rumah tidak layak.
Tak jarang rumah lama yang hampir tak tersentuh renovasi muncul di tengah hegemoni Yogyakarta sebagai kota pariwisata. Tidak hanya itu, jalan perkampungan berubah menjadi labirin perkotaan karena padatnya pemukiman warga.
Salah satu warga Kemantren Mantrijeron, Ignatius Hari Susetyo menjadi orang yang beruntung mendapatkan bantuan bedah rumah dari Pemerintah Kota (Pemkot) Yogyakarta.
Di dalam rumahnya tampak lemari-lemari reyot, tumpukan botol air mineral, hingga sepeda tua yang tak lagi terpakai. Rumahnya hampir semuanya dipenuhi oleh sarang laba-laba, tembok yang rapuh dengan cat yang terkelupas merupakan suasana yang setiap hari ia temui.
Hidupnya di rumah tersebut hanya sebatas beristirahat dan membersihkan rumah. Ia hidup seorang diri selama puluhan tahun. Rumah yang yang ia tempati lebih mirip gudang, tampak kumuh dan kotor.
Tidak ada cerita manisnya keluarga yang tumbuh bersama. Terlebih keceriaan melihat anak-anak yang mengisi ruang kekosongan.
“Kalau sudah pulang kerja saya tidur, kalau nggak tidur ya nyapu. Malamnya jaga hotel dari jam 4 sore sampai pagi,” katanya saat diwawancarai oleh awak media, Minggu (12/10/2025).
Meskipun sebelumnya sudah pernah ada perbaikan dari pemerintah, selebihnya, rumah tersebut tidak terawat. Itu sudah terjadi sekitar 15 tahun silam.
Pria yang sudah tidak produktif tersebut tampak renta. Suaranya sudah tidak lantang. Seakan sudah pasrah dengan kondisi yang ia alami, terlebih, dirinya yang memutuskan membujang.
Setiap hari ia terpaksa tidur di teras rumahnya karena dihantui dengan konstruksi rumahnya yang rapuh. “Takut kalau roboh, waspada kalau hujan kondisinya. Biasanya habis hujan ngepel,” katanya.
Sebagai penjaga hotel, dirinya mengaku mendapat upah sebesar Rp500 ribu. Sesekali, setiap bulan uang itu masih ia sisakan, kendati lebih banyak habis untuk kebutuhanya.
Masalah kesehatan juga ia rasakan, ia masih harus berobat atas penyakit yang ia derita. Uluran tangan dari tetangga tak jarang ia terima. “Warga sekitar banyak yang memberi banyak yang ngasih,”katanya.
Ia mengaku merasa khawatir untuk menempati bagian dalam rumah. Hari selama ini lebih memilih untuk beristirahat di teras rumahnya, di sebuah kursi panjang berukuran 1,5 meter.
Mima, Keponakan Hari, menyebut bahwa pamannya tersebut mengidap sejumlah penyakit jantung dan epilepsi. Setiap bulan ia selalu mengantarkan pak dhe nya tersebut berobat.
Ia menyampaikan bahwa tanah rumah yang ditempati oleh pamanya sudah tidak utuh lagi. Terdapat bagian yang sudah dibeli oleh orang lain.
Hanya sebagian kecil tanah yang sekiranya dimanfaatkan oleh Hari. “Kemarin baru saja (tanah sisa) diurus, kalau kamar mandi sudah dibeli orang” katanya.
Ketua Lembaga Pemberdayaan Masyarakat Kelurahan (LPMK) Mantrijeron, Eko Teguh saat diwawancarai menyampaikan bahwa Hari hidup sebatang kara di rumah tersebut.
“Tidak ada tempat yang layak, ini terakhir ada bantuan 10-15 tahun yang lalu, sama bantuan Pemkot juga, tapi bantuan ini nilainya tambah,” katanya.
Ia berupaya agar rumah hari bisa diperbaiki. Eko Mengaku prihatin atas kondisi yang dialami warganya tersebut. Meskipun penuh dengan penderitaan, ia mengaku masih melihat secercah semangat dari Hari untuk bisa melanjutkan hidup.
“Saya berharap dengan adanya perbaikan, pak Hari tidurnya bisa di dalam rumah lagi,” ujarnya.
Wali Kota Yogyakarta, Hasto Wardoyo mengunjungi rumah Hari pada Minggu (12/10/2025). Kedatangan orang nomor 1 di Kota Yogyakarta membawa harapan besar bagi Hari untuk bisa memiliki tempat berteduh yang layak.
Hasto di tengah upayanya menyelesaikan masalah sampah, dalam janji kampanyenya sendiri berupaya untuk mengentaskan masyarakat dari tempat tinggal kumuh melalui program bedah rumah lewat program Rumah Tidak Layak Huni.
Program tersebut hampir selalu dilakukan setiap akhir pekan. Meskipun tanpa sokongan dana pemerintah, program tersebut nyatanya berjalan secara konsisten dengan dukungan dari berbagai pihak, dari swasta, perbankan, maupun masyarakat.
“Beliau (hari) ingin punya rumah bagus, tidur diluar tapi takut kalau roboh. Tapi rumah seperti ini biasanya status tanahnya belum tentu jelas,” katanya.
“Kalau dengan anggaran pemerintah jika tidak bisa. Maka saya mengumpulkan warga gotong royong, tekad kami menyelesaikan hunian kumuh,” katanya.
Dalam kesempatan tersebut Hasto, bersama sejumlah kepala Organisasi Perangkat Daerah (OPD), Ketua DPRD Kota Yogyakarta, Pimpinan Bank BPD DIY Senopati, sejumlah hotel, hingga LPMK ikut memberikan kontribusi dalam berbagai bentuk, mulai dari kebutuhan seperti semen atau uang tunai. Puluhan juta terkumpul dalam semangat gotong royong.
“Kami bersyukur karena yang gotong royong cukup banyak, segera saya kasih waktu dua minggu disulap menjadi bagus,” katanya.
Hasto menyampaikan dirinya memiliki pengalaman melakukan perbaikan rumah dalam jumlah massal saat menjabat Bupati Kulon Progo selama 2 periode.
Mantan Kepala BKKBN ini berfokus pada perbaikan rumah kurang layak huni perkotaan, terutama yang berada di pinggiran sungai yang memiliki masalah sosial yang komplek.
“Saya pengalaman di Kulon Progo 5000 tiap hari minggu teri terus 7 tahun. Untuk di Kota Jogja pinggir Kali Code, Winongo, dan Gajahwong, skemanya gotong-royong,” katanya.
“Proyek besar itu untuk semua rumah, terutama pinggir kali, bagaimana rumah kita naikan rumah menghadap sungai, kita bikin jalan di tepi sungai,” katanya.
Ia mentargetkan 7 ribuan rumah bisa tersentuh perbaikan selama dirinya menjabat sebagai Wali Kota Yogyakarta.
Hasto melihat kenyataan bahwa akses sebagian rumah warga di Kota Yogyakarta memiliki keterbatasan melihat kondisi penduduk dan tata ruang wilayah.
Terlebih masyarakat yang ingin mengakses ke tempat fasilitas kesehatan tidak bisa didapatkan secara mandiri bagi penduduk lansia seperti hari.
“Akses gang-gangnya terlalu sempit, yang tidak memungkinan kendaraan masuk. Kita memitigasi itu, misal ada kebakaran, kita pasang hidran supaya air bisa masuk ke dalam tanpa pemadam masuk gang,” katanya.
“Kami juga menyediakan bidan, satu kampung satu perawat. Mereka home visit tanpa dinding. Kita ciptakan supaya pasien bisa dikunjungi oleh petugas kesehatan,” ujarnya. (Hadid Pangestu)
Penerima bantuan Rumah Tidak Layak Huni (RTLH) Pemerintah Kota Yogyakarta Ignatius Hari Susetyo dan keponokanya Mima, saat ditemui di rumanya di Kemantren Mantrijeron, Kota Yogyakarta.
(populi.id/Hadid Pangestu)