SLEMAN, POPULI.ID – Petani di Kalurahan Sinduharjo, Ngaglik, Sleman, DIY menceritakan selama ini tidak pernah mendapatkan ganti rugi akibat adanya alih fungsi lahan yang terjadi di tengah upaya Swasembada pangan yang digaungkan oleh pemerintah.
Ketua Kelompok Tani Ngudi Makmur Dwi Hertanto merasa sedih atas banyaknya alih fungsi lahan pertanian oleh sejumlah pihak yang banyak dimanfaatkan untuk kepentingan bisnis.
Ia menyampaikan tanah pertanian sebagian besar merupakan Tanah Kas Desa (TKD).
“Tanah Kas Desa biasanya untuk hijau-hijauan, banyak digunakan untuk hortikultura atau sayur mayur. Sebenarnya bisa bermanfaat untuk ketahanan pangan namun malah untuk kebutuhan segelintir kelompok dan kebutuhan pribadi,” katanya, Selasa (15/10/2025).
Dwi menyampaikan bahwa dari pemerintah daerah selama ini pemerintah kurang serius dalam memperhatikan petani dengan masih banyaknya alih fungsi lahan untuk mengejar target Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD).
“Ya kalau itu nanti hanya untuk pemasukan APBD, keuntunganya hanya untuk pihak terkait, banyak yang disewa untuk skala usaha. Petani tidak semua dapat kompensasi,” ujarnya.
Ia menyebut sebagian lahan persawahan yang tersisa di Ngaglik dimanfaatkan untuk budidaya pertanian hortikultura yang dikelola oleh Badan Usaha Milik Daerah (BUMDes). Harapan dengan pengelolaan badan usaha desa tersebut bisa membuka lapangan pekerjaan bagi petani.
Tim Program Kreativitas Mahasiswa (PKM) Riset Sosial Humaniora (RHS) Universitas Gadjah Mada melakukan penelitian yang menyoroti fragmentasi lahan sawah (leapfrog) dan perubahan makna lahan pertanian di DIY, salah satunya di Kapanewon Ngaglik, Sleman.
Tim menemukan fakta bahwa selama satu dekade terakhir, fragmentasi lahan sawah terjadi secara masif di pinggiran kota, terutama di sebagian kapanewon di Kabupaten Sleman dan Bantul. Ahsan menyebut Kapanewon Ngaglik, Sleman, sebagai daerah dengan fenomena leapfrog terbesar.
“Dampak jangka panjang fragmentasi sawah akan berpengaruh pada turunnya produksi padi yang mengancam kedaulatan pangan Daerah Istimewa Yogyakarta,” kata salah satu anggota Tim Peneliti Mohammad Ahsan, Selasa (14/10/2025).
Disebutnya, sejak 2024, kuantifikasi tutupan lahan di wilayah Sub Urban di DIY dari tahun 2015 sampai 2024 menemukan bahwa Kapanewon Ngaglik merupakan wilayah dengan dengan fragmentasi tertinggi.
Aturan pemerintah melalui kebijakan Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (PLP2B) disebutnya saat ini belum optimal.
“Perlindungan lahan sawah melalui PLP2B belum optimal karena saat penetapan lahan sawah masih belum dapat mengakomodasi penerimaan masyarakat pemilik lahan,” katanya
“Hal ini menimbulkan perbedaan nilai, makna, dan kepentingan antara pemilik dengan pemerintah,” ungkapnya.
Tidak hanya mengkaji fenomena fragmentasi atau leapfrog, penelitian ini juga menggali dinamika makna lahan pertanian bagi masyarakat, swasta, dan pemerintah dalam menghadapi dominasi perkembangan kota.
ia berharap penelitian tersebut dapat menjadi pertimbangan strategis bagi pemerintah daerah dalam merumuskan kebijakan pengelolaan lahan yang lebih baik.
“Kita ingin hasil penelitian tidak hanya berkontribusi sebagai literatur akademik, tetapi juga menjadi bahan pertimbangan strategis bagi pemerintah daerah dalam merumuskan kebijakan pengelolaan lahan yang lebih seimbang,” pungkasnya.
(populi.id/Hadid Pangestu)