YOGYAKARTA, POPULI.ID – Badan Gizi Nasional (BGN) menegaskan bahwa kasus keracunan massal program Makan Bergizi Gratis (MBG) di Kota Yogyakarta yang disebabkan oleh bakteri Escherichia coli (E. coli) menjadi momentum untuk memperketat pengawasan dapur penyedia makanan di seluruh Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY).
Deputi Bidang Pemantauan dan Pengawasan BGN, Letjen TNI (Purn) Dadang Hendra Yudha, mengatakan hasil uji laboratorium sejauh ini baru memastikan penyebab keracunan di Kota Yogyakarta adalah kontaminasi E. coli. Sementara itu, untuk wilayah lain di DIY seperti Sleman dan Kulon Progo, hasil evaluasi masih dalam proses.
“Belum semuanya keluar. Justru itu saya kemarin sudah bertemu dengan Kulon Progo dan Sleman untuk meminta masukan, kira-kira apa, kan ada satgasnya nih, satgas percepatan. Ini yang berkoordinasi dengan kami,” ujar Dadang di Balai Kota Yogyakarta, Kamis (6/11/2025).
Ia menjelaskan, BGN tengah melakukan evaluasi menyeluruh terhadap pelaksanaan program MBG, terutama dalam hal tata kelola dapur dan kelayakan sanitasi. Hingga saat ini, di DIY terdapat 169 Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG), namun baru 16 dapur yang telah memenuhi standar dan mendapatkan Sertifikat Laik Higiene dan Sanitasi (SLHS).
“Semuanya masih dalam progres. Saya juga sudah meminta kepada dinas kesehatan agar tidak sembarangan mengeluarkan SLHS. Ada prosedur yang harus dilalui, mulai dari pemeriksaan dapur, IPAL (instalasi pengolahan air limbah), hingga sanitasi yang memadai,” tegasnya.
Dadang menambahkan, penerbitan SLHS harus benar-benar melalui proses verifikasi lapangan yang ketat untuk memastikan keamanan pangan bagi siswa penerima program MBG.
“Jadi tidak bisa SLHS ini ujug-ujug dikasihkan. Tetapi mulai proses. Prosesnya ada kunjungan, dilihat apakah sudah memenuhi syarat semua. Kalau sudah ya kami keluarkan,” jelasnya.
Menurut Dadang, di Kota Yogyakarta membutuhkan 42 dapur penyedia MBG. Namun baru sekitar 24 yang beroperasi. Proses asesmen masih berjalan secara bertahap karena keterbatasan jumlah tenaga pemeriksa di tingkat dinas.
“Di Jogja umpamanya di sini butuh 42 dapur, sekarang yang operasional kurang lebih 24. Kepala dinas kan cuma satu, mereka harus jadwalkan ketemu dapur ini semua. Prosesnya ini kekurangan harus perbaiki dulu dan sebagainya. Sehingga nanti begitu dikeluarkan SLHS, sudah tidak ada lagi kejadian-kejadian (keracunan) itu,” bebernya.
Ia menegaskan, penerbitan izin laik sanitasi juga harus disertai tanggung jawab. Apabila terjadi insiden setelah izin diberikan, maka pihak yang menandatangani dapat dimintai pertanggungjawaban.
“Saya pesan sama Pak Wali Kota dan kepala dinas, begitu ini dikeluarkan dan ada kejadian, itu (SPPG) bisa dituntut. Kira-kira seperti itu ya, jadi kita saling menjaga,” tegasnya.












