YOGYAKARTA, POPULI.ID – Sengketa antara warga Kampung Tegal Lempuyangan, dengan PT KAI terkait pemanfaatan lahan di sekitar Stasiun Lempuyangan terus bergulir.
Antonius Fokki Ardianto, juru bicara warga Tegal Lempuyangan, setelah pemberian Surat Peringatan ke-2 pada 1 Juni 2025, menyatakan dengan lantang bahwa sengketa tersebut bukan sekadar soal lahan, tetapi juga menyangkut hak atas informasi, keadilan, dan kemanusiaan.
“Kenapa kami sampaikan ini? Karena sesuai Undang-Undang Keterbukaan Informasi Publik, setiap aturan yang berdampak pada kehidupan rakyat harus dibuka. Biar kita sama-sama bisa mencermati dan memahami, tidak asal tunduk. Kami ini tidak asal mengeluh, tidak buta hukum,” tegas Poki kepada wartawan, Kamis (5/6/2025).
Namun, menurutnya, PT KAI tetap bersikukuh bahwa aturan perusahaan adalah rahasia, bahkan saat forum membahas aspirasi warga dan pernyataan Gubernur DIY yang sempat beredar luas di media. Sikap tertutup inilah yang memicu kebuntuan.
“Panitikismo sebenarnya sudah tawarkan dialog lanjutan. Warga setuju. Tapi KAI tidak menjawab dengan tegas. Esoknya malah keluar SP ke-2, tepat di Hari Lahir Pancasila. Bagi kami, itu bentuk ancaman. Itu tidak berperikemanusiaan dan berpotensi melanggar hak asasi manusia,” kata Poki, mewakili 14 kepala keluarga dari RT 02 RW 01 Kelurahan Bausasran.
Poki juga menegaskan bahwa tanah yang disengketakan merupakan bagian dari tanah yang termasuk dalam kategori tanah non-keperabonan sesuai Perdais (Peraturan Daerah Istimewa).
“Di dalam Perdais itu jelas disebutkan, tanah non-keprabonan itu dimanfaatkan untuk kesejahteraan rakyat. Tapi sekarang pola pendekatan KAI itu seperti zaman kolonial, berkarakter VOC. Ini bukan untuk kesejahteraan rakyat, ini justru untuk memajukan kemiskinan umum,” tegasnya dengan nada keras.
Pernyataan Poki diperkuat oleh Raka Ramadhan dari Lembaga Badan Hukum Yogyakarta yang turut mendampingi warga.
Menurutnya, sikap PT KAI sejak awal menunjukkan arogansi dan pendekatan kuasa.
“Hingga hari ini, PT KAI tidak menunjukkan dasar klaimnya. Kami sudah kirim surat keberatan, kami minta dasar hukum klaim atas 14 bangunan warga yang sudah ditempati dan dirawat selama puluhan tahun, tapi tidak dijawab. Malah dibalas dengan surat peringatan. Ini bukan prosedur, ini intimidasi,” ujar Raka.
Dalam pertemuan yang difasilitasi di Kelurahan Bausasran, niat awal warga adalah membuka ruang musyawarah. Tapi yang terjadi justru sebaliknya.
“Kami tanya, ini dialog atau sekadar sosialisasi satu arah? Karena KAI hanya mengulang-ulang informasi tanpa membuka ruang partisipatif. Kami pertanyakan, ini mediasi atau monolog?” ungkapnya.
Raka juga memaparkan fakta bahwa PT KAI tidak pernah menjawab surat keberatan warga secara substansi.
“Warga tanya: apa dasar hukum klaim lahan? Mana dokumen sejarah penguasaan tanahnya? Sejak kapan tanah ini menjadi aset KAI? Tapi tidak dijawab. Bahkan saat pertama kali sosialisasi, warga tidak boleh didampingi juru bicara. KAI cuma bilang, ini tanah hasil nasionalisasi. Kita bilang, tunjukkan dulu proses dan buktinya,” jelas Raka.
Menurutnya, sejarah penguasaan tanah di Lempuyangan harus ditelusuri secara adil.
“Awalnya tanah ini bagian dari perjanjian antara Keraton Yogyakarta dan NIS—Netherlands Indische Spoorweg Maatschappij, perusahaan kereta api Belanda. Perjanjian itu tahun 1926, berakhir 1977. Lalu ada pendudukan Jepang tahun 1943, kemudian nasionalisasi aset asing tahun 1959. Tapi tidak pernah jelas, apakah bangunan ini ikut dalam proses itu. Sampai hari ini KAI tidak bisa menjelaskan,” ujarnya.
Bagi Raka, keengganan KAI membuka informasi melanggar prinsip hak atas informasi dan kepastian hukum.
“Warga disuruh angkat kaki, tapi dasar hukumnya tidak pernah dijelaskan. Ini bukan negara hukum kalau seperti itu. Warga berhak tahu kenapa mereka harus pergi, dan bagaimana status tanahnya sekarang.”
Lebih jauh, Raka menyoroti dampak sosial ekonomi dari rencana penggusuran.
“Bangunan itu bukan cuma tempat tinggal. Di situ ada usaha, ada kehidupan ekonomi. Kalau digusur, mereka kehilangan segalanya. Hak atas pemukiman dan hak ekonomi sosial budaya mereka dilanggar. Ini pelanggaran HAM,” tegasnya.
Ia juga mengingatkan bahwa dalam berbagai peristiwa darurat, warga Lempuyangan yang hadir, bukan KAI.
“Waktu gempa 2006, waktu puting beliung merusak rumah warga, siapa yang memperbaiki? Bukan KAI. Tapi sekarang tiba-tiba mereka datang dan bilang itu aset mereka. Aneh!”
Raka menegaskan bahwa pihaknya akan segera mengirim surat keberatan kedua.
“Kami akan sampaikan secara tertulis: satu, dasar hukum klaim; dua, proses perencanaan pengembangan kawasan; dan tiga, bagaimana solusi untuk menjamin hak-hak warga. Jangan sampai pembangunan ini berdiri di atas pelanggaran hak asasi manusia.”
“Kalau ruang partisipatif dibuka, warga siap berdialog. Tapi kalau terus ditekan, jangan salahkan kalau warga melawan. Karena kami percaya, dari kasus Lempuyangan ini bisa lahir kebijakan yang lebih adil, lebih manusiawi, dan berpihak pada rakyat,” tutup Raka.