TEHERAN, POPULI.ID – Ketegangan antara Iran dan Israel semakin memanas pada hari keenam konflik. Pemimpin Tertinggi Iran, Ayatollah Ali Khamenei, dengan tegas menolak ajakan Presiden AS Donald Trump untuk menghentikan perlawanan terhadap Israel.
Dalam pernyataannya yang dikutip The New York Times, Khamenei menyebut Iran tak akan gentar menghadapi tekanan, bahkan dari Amerika Serikat.
“Bangsa Iran tidak akan tunduk pada ancaman. Sejarah telah membuktikan bahwa bahasa kekerasan tidak akan mempan terhadap kami,” ujar Khamenei dalam pidato yang disiarkan secara nasional, Rabu (18/6/2025).
Pernyataan keras ini muncul sebagai respons atas unggahan Trump di platform media sosial Truth Social, di mana ia menyerukan Iran untuk menyerah tanpa syarat dan mengisyaratkan potensi keterlibatan militer AS dalam konflik yang melibatkan Israel dan Iran.
Tak tinggal diam, Khamenei memperingatkan bahwa keterlibatan langsung AS akan berujung pada “kerusakan yang tidak bisa diperbaiki”.
Di tengah ketegangan yang kian membara, Iran meluncurkan rudal hipersonik Fattah-1 ke arah Israel pada Rabu dini hari.
Serangan tersebut merupakan bagian dari gelombang ke-11 operasi militer yang dinamai True Promise III, menurut Korps Garda Revolusi Iran (IRGC).
IRGC mengklaim rudal-rudal mereka berhasil mengguncang wilayah Tel Aviv.
Hanya beberapa jam berselang, militer Israel membalas dengan serangan udara ke Teheran, menargetkan pabrik senjata dan fasilitas pengayaan nuklir, termasuk kawasan yang digunakan untuk memproduksi centrifuge.
Israel juga telah memperingatkan warga sipil untuk meninggalkan distrik di Teheran guna menghindari korban jiwa, tanda bahwa serangan mungkin akan terus berlanjut.
Israel Butuh AS untuk Hancurkan Nuklir Iran
Target utama dari serangan Israel adalah fasilitas nuklir Fordow yang terletak di dalam gunung dekat kota Qom. Fasilitas ini terkubur hingga 90 meter di bawah tanah dan dijaga ketat oleh sistem pertahanan udara buatan Iran dan Rusia.
Menurut mantan Kepala Intelijen MI6, Sir John Sawers, hanya satu jenis senjata yang diyakini mampu menembus pertahanan Fordow—bom penghancur bunker GBU-57A/B Massive Ordnance Penetrator (MOP), senjata super berat buatan AS yang belum pernah digunakan dalam pertempuran nyata.
“Israel tidak punya senjata seperti ini, dan mereka tidak bisa menggunakannya tanpa dukungan langsung dari Amerika Serikat,” ujar Sawers.
Bom MOP seberat 13.600 kg ini dirancang untuk menghancurkan target bawah tanah.
Hanya pesawat pengebom siluman B-2 Spirit milik Angkatan Udara AS yang mampu mengangkut bom tersebut, dan belum ada indikasi bahwa AS telah mengizinkan penggunaannya oleh Israel.
B-2 memiliki jangkauan global dan mampu membawa dua bom MOP sekaligus, menjadikannya satu-satunya pesawat yang dapat melancarkan serangan presisi terhadap target seperti Fordow.
Namun, penggunaannya akan menandai keterlibatan militer langsung AS—sebuah langkah yang hingga kini belum diambil Presiden Trump.
Saat ditanya di sela-sela KTT G7 di Kanada soal kemungkinan intervensi militer, Trump menjawab singkat, “Saya tidak ingin membahas itu sekarang,” tegasnya.
Fasilitas Fordow selama ini menjadi pusat kekhawatiran dunia internasional.
Tahun lalu, Badan Energi Atom Internasional (IAEA) menemukan uranium yang diperkaya hingga 83,7 persen di sana—hanya sedikit di bawah level yang dibutuhkan untuk membuat senjata nuklir.
Meski Iran bersikeras bahwa program nuklirnya murni untuk tujuan damai, Israel menganggap keberadaan fasilitas itu sebagai ancaman eksistensial.
Duta Besar Israel untuk AS, Yechiel Leiter, menegaskan bahwa Fordow adalah target utama. “Seluruh misi ini tidak akan selesai sampai Fordow dilenyapkan,” ujarnya kepada Fox News.
Namun, pakar pertahanan seperti Profesor Paul Rogers dari Universitas Bradford memperingatkan bahwa bahkan dengan bom MOP sekalipun, menghancurkan Fordow tidaklah mudah.
“Ini senjata terbaik yang ada untuk tugas semacam ini, tapi keberhasilannya belum tentu dijamin,” jelasnya.
Dengan meningkatnya intensitas serangan dari kedua pihak, kekhawatiran akan pecahnya perang regional yang lebih luas semakin besar.
Trump, yang belum memberikan keputusan final soal keterlibatan AS, menjadi kunci dalam menentukan apakah konflik ini akan tetap terbatas atau berubah menjadi eskalasi global.