SLEMAN, POPULI.ID – Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (KSPSI) Kabupaten Sleman meminta agar penentuan Upah Minimum Kabupaten (UMK) tahun 2026 mengacu pada hasil survei Kebutuhan Hidup Layak (KHL). Menurut KSPSI, pendekatan ini lebih merepresentasikan kondisi riil pekerja di lapangan dibanding hanya mengikuti rumus nasional.
Ketua KSPSI Sleman, Yuliadi, menyatakan hingga saat ini pihaknya belum dilibatkan secara resmi oleh Pemkab Sleman dalam pembahasan penentuan UMK. Meski begitu, serikat tetap berinisiatif melakukan survei KHL secara mandiri sebagai bentuk kontribusi terhadap data UMK yang lebih valid.
“Bukan berarti kami membuat survei tandingan, tapi kami mengetahui secara pasti, memastikan apa yang tertulis dalam sebuah survei. Apakah nominalnya benar, apakah kajiannya benar,” ujarnya, Kamis (9/10/2025).
Yuliadi menyebut, selama ini banyak keputusan terkait UMK hanya berdasarkan rumus dari pusat tanpa mempertimbangkan realita harga kebutuhan di lapangan. Untuk itu, pihaknya berharap pendekatan berbasis KHL kembali digunakan sebagai rujukan utama, sebagaimana yang pernah dilakukan sebelumnya.
KSPSI Sleman juga berharap agar pemerintah daerah mengajak serikat pekerja untuk berdiskusi secara terbuka dan membangun komunikasi yang harmonis antara buruh, pengusaha, dan pemerintah.
“Kita ingin membangun Sleman dengan norma yang harmonis, tanpa konflik. Dengan pelibatan semua pihak, keputusan UMK akan lebih adil dan bisa diterima bersama,” tegas Yuliadi.
Ia juga menyoroti kondisi geografis Sleman yang berbatasan langsung dengan wilayah Jawa Tengah. Hal ini menyebabkan kebutuhan pokok masyarakat di perbatasan memiliki harga yang relatif sama, namun UMK-nya berbeda.
“Misalnya di Prambanan atau daerah sekitar Muntilan, gaya hidup dan kebutuhan sama seperti di Jawa Tengah. Tapi UMK-nya berbeda jauh. Hal-hal seperti ini yang harus dibicarakan,” ungkapnya.
KSPSI mencatat bahwa survei KHL yang mereka lakukan dilakukan secara triwulanan untuk melihat tren kenaikan harga kebutuhan hidup, termasuk kos-kosan, harga gas, air minum, dan kebutuhan pokok lainnya.
“Kami sudah dari dulu ada survei, tapi dari dinas sendiri tidak ada survei. Surveinya kalau di kami tiga bulan sekali, karena survei itu tidak bisa sesaat. Survei itu kami lakukan berkesinambungan, bukan terus ujug-ujug menentukan angka (UMK). Di Sleman kami juga minta untuk mengadakan survei secara triwulan, selama ini belum,” tutur Yuliadi.
Kepala Dinas Tenaga Kerja (Disnaker) Sleman, Epiphana Kristiyani, menyampaikan pihaknya juga akan menggelar survei KHL sebagai langkah antisipatif. Mengingat belum ada kejelasan dari Kementerian Ketenagakerjaan terkait rumus penghitungan UMK 2026.
“Sampai hari ini kami belum mendapatkan informasi resmi apakah UMK 2026 masih menggunakan rumus seperti tahun sebelumnya atau harus kembali menggunakan survei KHL. Tapi untuk berjaga-jaga, kami akan lakukan survei KHL,” ujar Epiphana.
Disnaker juga telah mengadakan tiga kali rapat koordinasi dengan berbagai pihak dan akan menggandeng akademisi untuk membantu mengkaji hasil survei. Epiphana berharap kajian dari akademisi nantinya tidak berbeda jauh dengan hasil yang akan ditetapkan menggunakan rumus resmi, jika sudah ditentukan oleh pusat.
“Kami juga menunggu nanti kajian akademiknya seperti apa. Ya harapannya pada saat terakhir nanti itu jelas, apakah ada rumus tertentu yang harus kami ikuti atau kami pakai yang kemarin atau kami harus ngapain,” ungkapnya.
Pengesahan UMK Sleman dijadwalkan berlangsung pada November 2025. Menurut Epiphana, UMK tahun depan kemungkinan besar akan mengalami kenaikan, mengikuti tren kenaikan harga barang dan jasa, meski laju pertumbuhan ekonomi juga sedang melambat.
“Harapannya kan gitu (UMK naik), mengikuti kenaikan barang dan jasa. Tapi sekarang itu kita terhalang macam-macam, pertumbuhan ekonomi enggak baik-baik,” katanya.