YOGYAKARTA, POPULI.ID – Disamping memiliki sejumlah bangunan unik peninggalan masa lampau, Yogyakarta juga dibangun dengan tata kota yang unik. Tata ruang kota tradisional ini memiliki unsur yang terwujud dalam bentuk Catur Tunggal.
Sebagai wilayah yang bermula dari kerajaan, Kota Yogyakarta seperti halnya kota-kota di Jawa, merupakan warisan dari kota tradisional yang memiliki pola tata ruang yang sama yakni menggunakan pola Catur Tunggal.
Dikutip dari tulisan Arkeolog UGM Dwi Pradnyawan berjudul Yogyakarta Kota Tradisional Termutakhir dalam Buletin Mayangkara Edisi 2, pola catur tunggal ini adalah empat bentuk yang merupakan satu kesatuan atau yang berdekatan.
Unsur tersebut yakni kraton, alun-alun, masjid dan pasar.
“unsur tersebut bahkan bisa ditemui di sebagian kota tradisional di Jawa khususnya Jawa Tengah, Jawa Timur dan Jawa Barat,” terangnya.
Komponen Catur Tunggal kraton merupakan tempat tinggal raja atau penguasa yang menjadi pusat politik dan kekuasaan.
Kemudian alun-alun yang berwujud tanah lapang yang luas merupakan ruang publik dan pusat kegiatan.
Lalu masjid jadi pusat keagamaan dan paasr sebagai pusat kegiatan ekonomi masyarakat.
“Secara umum kraton nyaris selalu berada di selatan lalu alun-alun di tengah, masjid di barat, kecuali di kota Jepara, kemudian pasar hampir selalu di utara, pengecualian untuk di Lasem dan Jepara,” lanjutnya.
Pangeran Mangkubumi atau Sri Sultan Hamengku Buwono I sebagai pendiri keraton Yogyakarta mengembangkan wilayah yang kini berjuluk kota Gudeg itu ke level yang paling mutakhir.
Bila diamati secara mendalam, yang membuat Kota Yogyakarta istimewa dibanding kota-kota tradisional lainnya yakni mengenai keputusan Sri Sultan Hamengku Buwono I untuk menempatkan kraton di bentangan lahan yang diapit oleh dua sungai serta dua kekuatan besar Gunung Merapi dan laut selatan.
“Kedua unsur alam ini dalam pengetahuan dan kepercayaan orang Jawa merupakan perwujudan adikodrati yang dahsyat,” terang Dwi.
Hal yang tak kalah menarik, tata ruang Catur Tunggal yang pondasinya diletakkan oleh Sri Sultan Hamengku Buwono I itu nyaris tak tergerus zaman dan waktu.
Fakta itu terbukti dari peta Kota Yogyakarta buatan Hindia Belanda tahun 1830an yang tak mengalami perubahan signifikan bila dibanding dengan kondisi saat ini. Pola Catur Tunggal itu masih tetap terjaga.