SLEMAN, POPULI.ID – Rasa begah, perut tidak nyaman, berat badan yang tiba-tiba melonjak, atau bahkan rasa lelah yang tidak biasa bisa jadi tanda bahwa tubuh sedang beradaptasi dengan pola makan yang tidak seimbang selama pascalibur lebaran.
Perubahan mendadak pada jenis dan jumlah asupan makanan, terutama yang tinggi lemak dan gula, memang bisa memberikan dampak signifikan terhadap sistem metabolisme tubuh.
Menurut Dietisien dari Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat, dan Keperawatan (FK-KMK) Universitas Gadjah Mada Riani Witaningrum, kondisi tersebut sangat wajar terjadi, namun perlu segera disikapi.
Ia menjelaskan bahwa prinsip gizi seimbang adalah mengonsumsi kalori harian sesuai kebutuhan, mencakup kelompok zat gizi makro dan mikro. Ketika salah satu zat gizi makro dikonsumsi secara berlebihan, misalnya lemak jenuh dan karbohidrat sederhana seperti dalam sajian khas Lebaran, maka sistem metabolisme tubuh akan terganggu.
“Gula darah, insulin, dan hormon kortisol pastinya akan mengalami lonjakan,” ujarnya seperti dikutip dari laman UGM, Sabtu (19/4/2025).
Kadar gula darah meningkat karena peningkatan produksi glukosa dalam hati, dan kecenderungan ini bisa bertahan bahkan hingga lima hari. Dalam satu hari saja, resistensi insulin dapat meningkat dan baru menurun setelah tiga hari.
Bagi individu sehat, tubuh mungkin masih mampu mengatasi kondisi ini, namun peningkatan kadar kortisol dapat memicu penumpukan lemak, hipertensi, dan inflamasi yang pada akhirnya menjadi faktor risiko sindroma metabolik, diabetes tipe 2, hingga stroke.
Tak hanya dari sisi hormonal, gangguan saluran cerna juga sering muncul pasca Lebaran. Mulai dari dispepsia atau iritasi lambung, begah, hingga konstipasi, semuanya bisa terjadi akibat perubahan mendadak pada kebiasaan makan dan rendahnya konsumsi serat dari buah dan sayur.
Asupan makanan berlemak tinggi dan pedas memicu peningkatan sekresi asam lambung, sementara pergerakan usus melambat karena transisi pola makan dan kurangnya hidrasi.
“Ini semua adalah sinyal tubuh yang perlu didengar,” tutur Riani.
Langkah awal untuk memulihkan keseimbangan metabolik setelah Lebaran dimulai dengan pemahaman akan konsep makan seimbang. Berdasarkan pedoman Isi Piringku dari Kementerian Kesehatan, satu piring idealnya diisi oleh setengah porsi sayur dan buah, dan setengah porsi makanan pokok serta lauk pauk.
Selain itu, pengaturan jadwal makan juga penting untuk mendukung kestabilan gula darah dan pencernaan. Tiga kali makan utama dan dua hingga tiga kali camilan sehat dalam sehari dianjurkan, dengan pembagian energi yang sesuai.
“Aktivitas fisik juga memegang peranan penting. Olahraga ringan selama 20–30 menit setiap hari dapat membantu meregulasi pergerakan usus, memperbaiki sensitivitas insulin, dan mendukung metabolisme tubuh secara keseluruhan,” pesannya.
Riani menyarankan agar masyarakat menghindari makanan yang terlalu pedas, terlalu asam, dan terlalu banyak dalam satu waktu makan. Dalam masa transisi ini, jenis karbohidrat sederhana seperti nasi putih dan ketupat sebaiknya dibatasi, dan diganti dengan karbohidrat kompleks seperti nasi merah, gandum, serta sayur-sayuran.
Demikian pula dengan sumber lemak, berupa lemak jenuh seperti santan, margarin, dan minyak kelapa dapat dikurangi, digantikan oleh lemak tidak jenuh seperti minyak zaitun dan alpukat. Ia mengingatkan bahwa porsi lemak jenuh sebaiknya tidak lebih dari 7% dari total kalori harian, sedangkan lemak tidak jenuh ganda dan tunggal masing-masing 10% dan 20%.
“Kolesterol pun dianjurkan di bawah 200 mg per hari. Selain itu, orang yang memiliki kecenderungan intoleransi laktosa sebaiknya menghindari produk susu dan turunannya, serta minuman berkarbonasi yang bisa memicu peningkatan asam lambung,” ungkap Riani.
Belakangan ini, banyak masyarakat, terutama anak muda, tergoda untuk melakukan detoks atau diet ekstrem setelah Lebaran. Namun, Riani mengingatkan bahwa pola diet ekstrem memiliki risiko besar jika dilakukan tanpa pengawasan medis. Diet rendah karbohidrat, rendah lemak, atau sangat rendah kalori bisa menimbulkan efek samping mulai dari hilangnya massa tulang, peningkatan asam urat, hingga defisiensi zat gizi mikro.
Bahkan dalam jangka panjang, bisa meningkatkan risiko penyakit jantung dan kanker karena meningkatkan proses inflamasi dalam tubuh. Ia menegaskan bahwa tiga jenis diet ekstrem tersebut tidak dianjurkan dilakukan oleh individu sehat tanpa indikasi medis tertentu.
Suplementasi vitamin pun, meskipun sering dianggap solusi praktis, dapat menimbulkan gangguan pencernaan jika digunakan dalam jangka panjang. Daripada mengikuti tren diet ekstrem, Riani lebih menganjurkan gaya hidup sehat yang konsisten dan berbasis pada bukti ilmiah.
“Mencegah lebih baik daripada mengobati, dan menjaga kesehatan jauh lebih murah daripada mengobati penyakit yang muncul kemudian,” ujarnya.
Gaya hidup sehat tidak harus menjadi beban. Ia menyarankan agar masyarakat menjalaninya dengan percaya diri, bahagia, dan lapang dada, serta tidak mudah terbawa arus tren atau FOMO (fear of missing out).
Terakhir, ia menekankan bahwa hidup sehat tidak hanya soal makan, tetapi juga menyangkut hidrasi yang cukup, olahraga teratur, tidur yang cukup, serta pengelolaan stres yang baik.
Dengan langkah-langkah sederhana namun konsisten, pemulihan pola makan pasca Lebaran bisa menjadi titik awal untuk menjalani kehidupan yang lebih sehat dan seimbang.
Maka, setelah bermaaf-maafan dan menikmati sajian khas Lebaran, kini saatnya berdamai dengan tubuh, memberinya kesempatan untuk pulih, dan menjadikannya lebih kuat untuk hari-hari yang akan datang.