YOGYAKARTA, POPULI.ID – Aktivitas lari dalam beberapa waktu belakangan sedang jadi tren di masyarakat, termasuk juga bagi warga Yogyakarta.
Bila biasanya aktivitas tersebut hanya didapati pada akhir pekan saja, kini nyaris tiap hari aktivitas lari bisa dijumpai di setiap sudut kota, diantaranya di kawasan Jalan Pangeran Mangkubumi, atau tepatnya di area selatan Tugu Yogyakarta.
Menggeliatnya tren aktivitas lari atau jogging nyatanya membuka peluang baru, terutama bagi para fotografer freelance untuk meraup cuan.
Namun, aktivitas memotret para pelari tersebut belakangan menimbulkan pro kontra. Ada yang biasa saja tapi tak sedikit pula yang risih hingga takut foto yang diambil kelak disalahgunakan.
Bayu Nugroho (38), seorang pelari yang rutin berlari di area Tugu setiap akhir pekan mengaku sebagai yang tak mempermasalahkan aktivitasnya dijepret sejumlah fotografer freelance. Ia justru merasa lebih termotivasi dengan adanya fotografer yang mengabadikan momen dirinya berlari.
“Saya jadi merasa seperti atlet profesional. Ada yang mendokumentasikan perjuangan saya secara real time. Rasanya lebih berharga,” kata Bayu saat ditemui Populi.id, Minggu (11/5/2025).
Bagi Bayu, interaksi spontan antara fotografer dan pelari malah membuat suasana lebih cair. “Kadang mereka kasih semangat sambil motret, itu bikin senyum sendiri. Nggak terasa beratnya lari,” tambahnya.
Namun pandangan berbeda datang dari Siska Pramudita (27), seorang pelari yang cukup aktif berolahraga di kawasan Tugu Yogyakarta.
Siska mengaku merasa kurang nyaman dengan kehadiran fotografer yang mengabadikan momen dirinya berlari, terutama jika dilakukan tanpa izin.
“Risih saja rasanya. Saya pernah merasa sangat risih saat difoto ketika sedang membenahi pakaian, dan itu tanpa saya sadari,” ujarnya.
Menurut Siska, lari adalah aktivitas yang sangat personal dan membutuhkan konsentrasi penuh. Ia merasa keberadaan fotografer yang terlalu agresif bisa membuat pelari merasa diawasi, bukan didukung.
“Saat lari pastinya kami ingin fokus bertahan, bukan tampil. Kalau harus mikir soal kamera juga, itu melelahkan secara mental,” tegasnya.
Siska juga mengkritik etika distribusi foto. “Beberapa foto bisa saja viral tanpa izin atau bahkan digunakan untuk promosi. Kalau wajah atau tubuh saya dipakai tanpa sepengetahuan, itu sudah melanggar privasi,” katanya.
Potret dari Pinggir Lintasan: Merekam Ekspresi dan Cerita
Di sisi lain, para fotografer yang terlibat dalam tren ini melihat peluang untuk mendokumentasikan emosi dan ekspresi yang lebih jujur dari pelari.
David (30), seorang fotografer lepas asal Yogyakarta yang aktif memotret di event-event olahraga di kawasan Tugu Yogyakarta, menyebut bahwa memotret pelari bisa memberikan nilai tambah dalam dokumentasi olahraga.
“Ekspresi pelari saat lelah atau bersemangat itu nggak bisa diulang. Saya memang nggak masuk ke lintasan, tapi cari spot di sisi jalur buat menangkap momen-momen itu,” jelasnya.
Terkait pro-kontra yang berkembang di kalangan pelari, David mengaku tetap menghormati kenyamanan masing-masing pelari.
“Kalau ada yang nggak mau difoto, biasanya mereka kasih sinyal—nutup wajah atau kasih tanda silang dengan tangan. Ya sudah, saya nggak ambil,” ujarnya.
David menambahkan, hasil foto-fotonya kemudian ia unggah ke platform berbasis AI, yang memungkinkan orang membeli foto dengan harga antara Rp25 ribu hingga Rp35 ribu per foto.
Menurut David, perihal izin penggunaan foto akan diberikan langsung melalui platform yang secara otomatis mengonfirmasi kepada pelari dalam foto.
“Kalau wajah seseorang terdeteksi masuk ke sistem, mereka nanti akan dapat notifikasi. Jadi, izinnya disampaikan langsung ke pemilik wajah,” tambahnya.
Meski hanya memotret di akhir pekan dan tidak bisa mengakses semua lokasi, David mengaku dapat meraih hingga 15 foto per hari yang terjual.
Siti (22), seorang karyawan perusahaan swasta, juga terjun dalam dunia fotografi pelari.
Siti memulai aktivitas ini sebagai hobi, tetapi kemudian tertarik untuk terus menggelutinya karena ada keuntungan finansial yang menjanjikan.
“Awalnya cuma iseng. Tapi setelah tahu bisa menghasilkan uang, jadi tertarik terus,” katanya.
Siti menganggap perdebatan tentang fotografer pelari wajar terjadi, karena tidak semua orang senang difoto.
“Nggak semua orang suka difoto, jadi wajar kalau ada yang keberatan. Tapi banyak juga kok yang justru senang dan minta difoto,” jelasnya.
Sebagai fotografer yang aktif memotret di kawasan seperti Tugu dan Malioboro saat event besar, Siti menyadari potensi keuntungan dari hasil foto.
“Kalau event besar, hasil fotonya lebih banyak dan biasanya lebih laku juga,” ungkapnya.