POPULI.ID – Kebijakan sejumlah kepala daerah di Indonesia yang mengirimkan anak bermasalah ke barak militer menuai pro dan kontra di tengah masyarakat.
Sebagian pihak menilai kebijakan ini sebagai upaya pembentukan karakter dan kedisiplinan, sementara yang lain menganggap pendekatan tersebut berpotensi menimbulkan dampak negatif jangka panjang terhadap anak.
Beberapa kepala daerah seperti Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi, Bupati Purwakarta Saepul Bahri Binzein, Bupati Cianjur Mohamad Wahyu Ferdia, dan Wali Kota Singkawang Tjhai Chui Mie termasuk di antara mereka yang gencar menyerukan program ini.
Mereka mengirim anak-anak yang dianggap “bandel” ke barak militer untuk menjalani pendidikan semi-militer.
Namun, kebijakan ini memicu perdebatan publik. Di beberapa wilayah, program tersebut telah diterapkan, namun tidak semua kalangan menyambut positif praktik pendisiplinan bergaya militer.
Dedi Mulyadi merinci bahwa anak-anak yang layak mendapatkan tempaan militeristik adalah mereka yang sering terlibat tawuran, kecanduan game, merokok, mabuk-mabukan, melakukan balapan liar, menggunakan knalpot bising, atau melakukan tindakan tidak terpuji lainnya.
Kebijakan ini diberlakukan untuk siswa jenjang SMP. Menurut Dedi, anak-anak yang dikirim ke barak merupakan hasil kesepakatan dengan orang tua yang merasa sudah tidak mampu lagi mendidik anak-anak mereka.
Menteri Hak Asasi Manusia (HAM) Natalius Pigai menilai pendekatan pendidikan semi-militer ini tidak termasuk dalam kategori hukuman fisik atau corporal punishment. Ia menyebut, selama fokus pembinaan berada pada pembentukan karakter, mental, serta penanaman nilai-nilai positif tanpa kekerasan, maka hal itu tidak melanggar HAM.
Sementara itu, pemerhati anak Seto Mulyadi alias Kak Seto juga telah meninjau langsung program Pendidikan Karakter Panca Waluya di Dodik Bela Negara Rindam III/Siliwangi, Cikole, Lembang, Kabupaten Bandung Barat, pada Sabtu, 10 Mei 2025.
Berdasarkan pengamatannya, Kak Seto menyimpulkan bahwa kegiatan tersebut tidak melanggar hak anak, meskipun berlangsung di lingkungan militer.
“Meskipun ada unsur kedisiplinan ala militer, pendekatannya tetap menggunakan bahasa anak dan menjunjung tinggi hak-hak mereka,” ujar Kak Seto, dikutip dari laman Pemprov Jabar.
Ia menambahkan bahwa anak-anak tetap mendapatkan hak tumbuh dan berkembang, perlindungan, ruang untuk menyampaikan pendapat, hingga pemeriksaan kesehatan dan psikologi.
Sebagai Ketua Lembaga Perlindungan Anak Indonesia (LPAI), ia menilai program ini aman dan berpotensi memberikan dampak positif bagi peserta didik.
Di sisi lain, Aliansi Penghapusan Kekerasan Terhadap Anak (PKTA) menyampaikan penolakan atas kebijakan ini. Mereka menilai pendekatan militeristik bertentangan dengan semangat Konvensi Hak Anak yang telah diratifikasi oleh Indonesia.
Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), salah satu anggota PKTA, menilai bahwa pendekatan semacam ini mengabaikan kompleksitas penyebab perilaku menyimpang anak.
Menurut mereka, kenakalan anak seringkali dipengaruhi oleh faktor lingkungan, keluarga, pendidikan, hingga pergaulan sebaya, bukan semata-mata pilihan individu.
PKTA menilai pengiriman anak ke barak militer bukanlah solusi. Apalagi, praktik kekerasan dan intimidasi masih ditemukan dalam beberapa institusi pendidikan kedinasan yang menganut pola serupa.
Sebagai alternatif, anak-anak sebaiknya dibimbing melalui pendekatan keluarga, pendidikan, dan komunitas sebagai pihak yang paling bertanggung jawab terhadap tumbuh kembang anak.
“Penguatan, pembenahan, dan perlindungan dengan menjunjung kepentingan terbaik anak harus menjadi prioritas agar anak tumbuh dalam lingkungan yang suportif dan positif,” ujar PKTA dalam rilisnya.
Akademisi Universitas Muhammadiyah Surabaya, Radius Setiyawan, juga menilai bahwa pendekatan militeristik tidak sejalan dengan paradigma pendidikan modern.
Menurutnya, anak-anak justru berisiko mengalami trauma jika dididik dalam lingkungan disiplin ketat ala militer.
Radius menekankan perlunya pendekatan yang lebih konstruktif dan berbasis psikologis, serta evaluasi menyeluruh terhadap program pencegahan kenakalan remaja.
“Jika pemerintah serius menangani kenakalan remaja, maka langkah yang harus ditempuh adalah memperkuat peran sekolah, keluarga, dan komunitas,” tegasnya, dikutip dari laman UM Surabaya.