POPULI.ID – Wacana pemberian gelar pahlawan nasional kepada Presiden kedua RI, Soeharto, menuai penolakan dari sejumlah aktivis reformasi 1998. Salah satunya datang dari sosiolog dan aktivis ’98, Ubedilah Badrun.
Ubed menilai, wacana tersebut bertentangan dengan semangat reformasi yang telah diperjuangkan hampir tiga dekade lalu.
“Bagaimana mungkin seseorang yang pernah ditetapkan sebagai tersangka korupsi bisa dianggap sebagai sosok teladan dengan integritas tinggi? Ini jauh dari cita-cita reformasi,” tegas Ubed, Sabtu (24/5/2025).
Ubed juga menyoroti stagnasi pembangunan Indonesia dibandingkan negara-negara tetangga sejak reformasi bergulir.
Menurutnya, banyak negara Asia seperti Korea Selatan, Malaysia, dan Singapura menunjukkan lompatan ekonomi signifikan, sementara Indonesia tertinggal.
Ia menyebut pertumbuhan ekonomi nasional pada kuartal I 2025 hanya mencapai 4,8 persen.
“Korea Selatan dulu negara miskin. Sekarang pendapatan per kapitanya sudah tembus 14 ribu USD, sama seperti Malaysia. Singapura bahkan lebih dari 36 ribu USD. Kita masih tertinggal karena persoalan mendasar seperti lemahnya supremasi hukum, korupsi, dan pelanggaran HAM yang tak kunjung dituntaskan,” ujarnya.
Ia juga menyinggung temuan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) yang menyebut potensi korupsi terhadap dana APBN mencapai Rp 900 triliun.
“Itu sekitar 30 persen dari anggaran negara. Kalau itu dikorupsi, ini negara apa?” cetusnya.
Lebih lanjut, Ubed mengingatkan bahwa Soeharto pernah tersandung kasus hukum dengan tuduhan korupsi yang merugikan negara hingga Rp4,4 triliun berdasarkan putusan Mahkamah Agung pada tahun 2000.
“Soeharto tercatat dalam sejarah sebagai pelanggar HAM dan koruptor. Bagaimana mungkin seseorang dengan catatan seperti itu dianugerahi gelar pahlawan?” tambahnya.
Penolakan senada juga disuarakan oleh ratusan aktivis 1998 yang berkumpul dalam diskusi publik bertajuk “Refleksi Reformasi 1998: Soeharto, Pahlawan atau Penjahat HAM?” di Jakarta, Sabtu (24/5).
Acara ini digelar oleh sejumlah elemen gerakan seperti Repdem, Barikade ’98, Pen ’98, dan FK ’98.
Simbol ribuan tengkorak imitasi dipasang di lokasi acara sebagai pengingat kelamnya masa Orde Baru, era yang mereka anggap penuh pelanggaran hak asasi manusia, mulai dari operasi Petrus, penculikan aktivis, hingga kasus seperti Marsinah dan Wiji Thukul yang belum terungkap hingga kini.
“Kita ingin mengasah ingatan publik. Jangan sampai cita-cita reformasi dilupakan begitu saja,” ujar Simson, Ketua Panitia diskusi. Ia menegaskan bahwa para aktivis dengan tegas menolak Soeharto diangkat sebagai pahlawan.
“Kami menolak keras wacana ini,” tegasnya.
Sikap kritis juga disampaikan Ketua Komnas HAM, Anis Hidayah, yang hadir dalam forum tersebut.
Ia mempertanyakan kelayakan pemberian gelar tersebut jika dikaitkan dengan semangat reformasi dan nilai-nilai konstitusi.
“Apakah pantas seseorang yang memicu lahirnya gerakan reformasi karena praktik otoritarianisme justru akan diberi gelar pahlawan?” tanyanya.
Menurut Anis, Soeharto memimpin dengan gaya diktator dan menjauhkan rakyat dari prinsip keadilan sosial sebagaimana dicita-citakan dalam UUD 1945.
“Itu sebabnya reformasi terjadi. Jangan sampai kita melupakan alasan utama perubahan besar itu terjadi 27 tahun lalu,” tutupnya.