SLEMAN, POPULI.ID – Revisi Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2021 tentang Kejaksaan menjadi sorotan tajam karena dinilai berpotensi melemahkan sistem hukum.
Salah satu aspek yang menuai kritik adalah konsep Dominus Litis, yakni kewenangan penuh jaksa dalam menentukan kelanjutan perkara.
Menanggapi hal itu, Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Umum (Jampidum) Prof. Dr. Asep Nana Mulyana menyampaikan pandangan tegas saat membuka Focus Group Discussion bertema Penerapan Ideal Sanksi Pidana Kerja Sosial di Indonesia, yang digelar di Aula Rektorat Universitas Negeri Yogyakarta, Selasa (3/6/2025).
“Saya minta, ketika Anda diberikan kewenangan oleh negara ini, jangan hanya selesaikan perkara pokoknya saja. Pencuriannya selesai, dimaafkan, ya sudah. Tapi bagaimana dengan pascaperistiwa itu?” tegasnya.
Menurutnya, pendekatan hukum tidak cukup hanya dengan menyelesaikan tindak pidana secara formal.
Harus ada pemahaman menyeluruh terhadap latar belakang sosial pelaku.
“Kalau akar masalahnya karena lapar, karena tidak ada pekerjaan, cari alternatif! Kerja sama dengan dinas tenaga kerja, BLK, atau lembaga pelatihan lain. Banyak jalannya,” lanjutnya.
Ia juga menyoroti praktik-praktik penyelesaian perkara secara informal, seperti yang dilakukan di kantor desa atau tempat lain tanpa mekanisme kontrol.
“Jangan selesaikan perkara di ruang kantor desa, di balai desa, apalagi di pematang sawah. Besoknya pelaku bisa mengulangi lagi karena akar masalahnya tak disentuh,” ujarnya.
Ia menegaskan pentingnya profil sosial pelaku dalam proses hukum.
Menurutnya, jaksa harus menggali lebih dalam, tidak hanya berpatokan pada dokumen formal seperti SKCK atau SIPP.
“Tolong jangan hanya percaya pada SKCK atau SIPP saja. Itu formalitas. Lihat kehidupan sosial pelaku, bagaimana dia hidup di masyarakat, baru Anda bisa menyelesaikan perkara secara komprehensif,” pungkasnya.