POPULI.ID – Hingga kini, Rancangan Undang-Undang (RUU) Perampasan Aset belum juga disahkan, meski telah diusulkan sejak bertahun-tahun lalu. .
Padahal, RUU ini diyakini menjadi solusi efektif dalam upaya pemberantasan korupsi yang masih menjadi persoalan serius di Indonesia.
Usulan awal RUU ini muncul pada 2008 oleh Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), kemudian diajukan ke DPR pada 2012.
Namun, proses legislasi RUU ini mandek hingga kini belum menemukan kejelasan.
Padahal, RUU Perampasan Aset dianggap sebagai instrumen hukum penting karena memungkinkan negara menyita aset hasil tindak pidana tanpa harus menunggu putusan pengadilan terhadap pelakunya.
Dengan mekanisme ini, pemberantasan korupsi dapat berjalan lebih efektif, sekaligus mewujudkan keadilan dan kesejahteraan bagi masyarakat.
Terbaru, RUU ini kembali masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2025.
Namun sayangnya, tidak masuk dalam daftar prioritas, sehingga kembali memicu sorotan publik.
Lantas, apa saja isi RUU Perampasan Aset itu?
RUU Perampasan Aset Tindak Pidana (PATP) terdiri dari 7 Bab dan 68 Pasal, yang secara umum mengatur mekanisme perampasan atau penyitaan aset dari pelaku tindak pidana.
RUU ini memberikan kewenangan kepada negara untuk mengambil alih kepemilikan aset yang merupakan hasil dari tindak pidana.
Aset yang dimaksud mencakup semua benda bergerak atau tidak bergerak, berwujud maupun tidak berwujud, yang memiliki nilai ekonomi.
Pengelolaan aset hasil tindak pidana meliputi kegiatan penyimpanan, pengamanan, pemeliharaan, penilaian, pemindahtanganan, pemanfaatan, hingga pengembalian aset kepada negara atau masyarakat yang berhak.
Dalam Pasal 6 RUU PATP, diatur bahwa aset yang dapat dirampas minimal bernilai Rp100 juta dan berasal dari tindak pidana yang diancam pidana penjara minimal empat tahun.
Sementara itu, pengelolaan aset dilakukan oleh Jaksa Agung secara profesional, berdasarkan prinsip kepastian hukum, keterbukaan, efisiensi, dan akuntabilitas, sebagaimana tercantum dalam Pasal 50.
RUU ini bertujuan untuk memulihkan kerugian negara yang diakibatkan oleh tindak pidana, terutama korupsi dan kejahatan ekonomi lainnya.