BANTUL, POPULI.ID – Kasus Mbah Tupon, lansia yang menjadi korban pengambilalihan lahan secara ilegal di Bantul, kembali membuka mata publik akan bahaya laten mafia tanah yang masih marak terjadi di Indonesia.
Menanggapi kasus ini, Dr. D. Krismantoro, SH., M.Hum., Ketua Bagian Hukum Pertanahan, Lingkungan Hidup & Hukum Adat Fakultas Hukum Universitas Atma Jaya Yogyakarta, menegaskan bahwa praktik mafia tanah adalah tindak pidana yang serius dan terorganisir.
“Mafia tanah merupakan kejahatan yang dilakukan individu, kelompok, atau badan hukum dengan tujuan mengambil alih tanah secara ilegal melalui cara-cara curang dan terencana,” ujar Dr. Krismantoro saat dihubungi, Selasa (29/4/2025).
Ia menjelaskan, modus yang digunakan tidak hanya terbatas pada pemalsuan dokumen seperti sertifikat palsu atau akta jual beli fiktif, tetapi juga melibatkan manipulasi data, penipuan, bahkan kekerasan dan intimidasi terhadap pemilik sah.
Dalam konteks kasus Mbah Tupon, praktik-praktik ini patut diduga telah terjadi secara sistematis.
Keberadaan pihak-pihak yang tiba-tiba mengklaim lahan milik Mbah Tupon, memunculkan indikasi bahwa proses pengambilalihan tidak berlangsung secara sah dan transparan.
Modus Operandi dan Celah Hukum
Menurut Dr. Krismantoro, terdapat empat modus utama mafia tanah yang umum terjadi:
1. Pemalsuan dokumen tanah seperti sertipikat atau surat keterangan tanah.
2. Manipulasi data, baik dalam dokumen kepemilikan maupun batas tanah.
3. Penipuan terhadap pemilik asli maupun calon pembeli.
4. Tindakan kekerasan atau intimidasi untuk mengambil alih tanah secara paksa.
“Sering kali masyarakat awam tidak menyadari betapa mudah celah hukum ini bisa dimanfaatkan jika dokumen kepemilikan tidak lengkap atau batas tanah tidak jelas,” jelasnya.
Langkah Pencegahan dan Penegakan Hukum
Untuk mencegah kejadian serupa terulang, masyarakat diminta lebih waspada dan melakukan langkah-langkah pencegahan, seperti tidak meminjamkan sertifikat kepada orang lain, selalu melakukan pengecekan keaslian dokumen di kantor pertanahan, serta memastikan batas tanah sesuai dengan sertifikat.
Dalam kasus Mbah Tupon, Dr. Krismantoro menyarankan langkah-langkah hukum tegas, antara lain:
– Mengajukan pemblokiran sertifikat ke kantor pertanahan sesuai Peraturan Menteri ATR/BPN No. 13 Tahun 2017.
– Melaporkan ke kepolisian dengan menggunakan sejumlah pasal KUHP, seperti Pasal 263 (pemalsuan surat), Pasal 266 (akta palsu), Pasal 372 (penggelapan), dan Pasal 385 (penguasaan tanah secara melawan hukum).
“Kasus ini harus menjadi pelajaran penting agar masyarakat tidak menjadi korban berikutnya. Pemerintah dan aparat penegak hukum harus bersinergi dalam memutus mata rantai mafia tanah, termasuk menindak tegas pelaku yang terlibat,” tegasnya.
Pentingnya Literasi dan Perlindungan Hukum
Dr. Krismantoro menekankan pentingnya literasi hukum pertanahan di masyarakat. “Masyarakat harus tahu hak-haknya dan sadar terhadap potensi penyalahgunaan. Pendidikan hukum praktis tentang pertanahan menjadi kebutuhan mendesak,” pungkasnya.