JAKARTA, POPULI.ID – Menjelang Muktamar Partai Persatuan Pembangunan (PPP) yang dijadwalkan berlangsung Agustus atau September 2025, atmosfer politik internal partai berlambang Ka’bah memanas.
Kursi ketua umum yang kosong secara definitif sejak kepemimpinan Plt Muhammad Mardiono kini menjadi rebutan—bukan hanya oleh kader internal, tetapi juga oleh nama-nama dari luar partai.
Sejumlah elite partai bahkan secara terbuka mendorong figur eksternal untuk memimpin PPP. Sekretaris Jenderal DPP PPP, Arwani Thomafi mengklaim, tak kurang dari 20 DPW menghendaki ketua umum baru dari luar partai.
Narasi ini menimbulkan kegaduhan politik di internal partai, mengingat PPP secara historis identik dengan kepemimpinan kader ulama dan loyalis partai.
Nama-nama yang digadang masuk bursa caketum datang dari beragam latar belakang: dari mantan pejabat militer hingga mantan kepala daerah dan menteri.
Ketua Majelis Pertimbangan PPP, Romahurmuziy (Rommy) bahkan menyebut nama-nama seperti Jenderal (Purn) Dudung Abdurachman, Menteri Sosial Saifullah Yusuf (Gus Ipul), Menteri Pertanian Andi Amran Sulaiman, hingga eks Mendag Agus Suparmanto.
Rommy menyebut, dibutuhkan “extraordinary leader” untuk mengangkat PPP dari keterpurukan, mengingat partai ini gagal menembus ambang batas parlemen pada Pemilu 2024 lalu.
“Upaya membawa PPP kembali ke Senayan bukan sekadar kerja keras, tapi perjuangan besar. Sejak reformasi 1998, belum ada satu pun partai yang mampu kembali setelah terpental dari Senayan,” ujar Rommy, Senin (26/5/2025).
Namun, gagasan membuka pintu bagi tokoh eksternal justru memantik reaksi keras.
Sinyal penolakan datang dari tokoh-tokoh yang disebut, termasuk Presiden ke-7 RI Joko Widodo dan mantan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan.
Jokowi, yang namanya disebut oleh Ketua Mahkamah PPP, Ade Irfan Pulungan, enggan memberi respons serius.
“Itu urusan internal PPP,” ucap Jokowi singkat di Solo, Rabu (28/5/2025).
Sementara kubu Anies menegaskan sang mantan capres sedang fokus pada kegiatan sosial.
Penolakan juga disampaikan terang-terangan oleh Dudung dan Gus Ipul.
“Saya tidak berminat,” ujar Dudung yang kini menjadi penasihat khusus Presiden Prabowo bidang pertahanan nasional.
Gus Ipul bahkan menyebut beban menjadi ketua umum PPP terlalu berat.
“Pertanggungjawabannya besar. Saya enggak sanggup,” kata dia di Bandung, Kamis (29/5/2025).
Sikap enggan dari para tokoh eksternal ini memperuncing perdebatan di tubuh PPP.
Sementara itu, satu sisi ada dorongan segar dan pembaruan dari luar partai.
Di sisi lain, faksi internal menganggap langkah ini sebagai bentuk pengkhianatan terhadap marwah partai.
Ketua DPW PPP DKI Jakarta, Saiful Rahmat Dasuki membantah keras narasi bahwa 20 DPW mendukung tokoh eksternal.
Ia bahkan menuding Arwani Thomafi sedang memainkan siasat politik untuk mengambil alih kepemimpinan partai secara inkonstitusional.
“Ini upaya adu domba yang tak bermartabat,” tegasnya dalam konferensi pers, Rabu (14/5/2025).
Saiful menyatakan partai tetap mengacu pada keputusan Mukernas PPP pada Desember 2024 lalu, yang secara eksplisit mengamanahkan agar Plt Ketum Muhammad Mardiono melanjutkan kepemimpinan.
Ia juga menegaskan bahwa AD/ART partai masih mengatur bahwa ketua umum harus berasal dari kader internal.
Di tengah riuhnya bursa calon ketua umum, manuver Rommy dianggap sebagai biang keretakan konsolidasi.
Ketua DPC PPP Jakarta Timur, Ahmad Rifa’i menyebut langkah Rommy sebagai upaya “memperdagangkan” partai kepada publik.
“Malu rasanya PPP dijadikan komoditas dagangan. Seolah partai ini bukan warisan ulama tapi hanya alat transaksi politik,” ujarnya lewat pernyataan tertulis.
Rifa’i bahkan menyerang balik rekam jejak Rommy, mengingat keterlibatannya dalam kasus korupsi menjelang Pemilu 2019 yang dianggap memperparah anjloknya suara PPP.
“Rommy seharusnya tobat nasuha. Jangan jadi azab kedua buat PPP,” katanya.
Nada serupa datang dari Wakil Ketua Umum PPP, Rusli Effendi. Ia menilai langkah Rommy menjajakan kursi ketua umum kepada pihak eksternal sebagai tindakan tidak etis.
“Seolah PPP ini barang dagangan yang bisa ditukar dengan popularitas,” ucapnya, Senin (26/5/2025).
Pengamat politik dari Parameter Politik Indonesia, Adi Prayitno, menilai resistensi terhadap pencalonan eksternal bukan semata karena fanatisme kader, melainkan realisme politik.
“PPP saat ini bukan partai yang seksi. Siapa pun yang jadi ketua umum, harus siap memikul beban berat: dari membangun kembali struktur, memperkuat kaderisasi, hingga menyelamatkan eksistensi PPP menuju Pemilu 2029,” kata Adi.
Menurut Adi, penolakan para tokoh eksternal juga bisa dibaca sebagai sinyal bahwa mereka tengah berkomitmen mendukung jalannya pemerintahan Presiden Prabowo Subianto.
“Dudung dan Gus Ipul saat ini adalah bagian dari lingkaran kekuasaan. Fokus mereka ada pada akselerasi visi-misi Prabowo, bukan tarik-menarik internal partai,” ujarnya.
Di tengah tarik-ulur ini, satu hal menjadi jelas, yakni PPP sedang berada dalam persimpangan penting.
Muktamar 2025 bukan hanya soal memilih ketua umum baru, tapi juga tentang arah ideologis dan strategi penyelamatan eksistensi partai.