YOGYAKARTA, POPULI.ID – Suara lirih namun penuh ketegasan terdengar dari Kampung Lempuyangan, Bausasran, Yogyakarta. Warga di kawasan ini tengah dilanda keresahan akibat rencana penggusuran oleh PT Kereta Api Indonesia (KAI).
Ati, warga yang telah bermukim di kawasan itu selama lebih dari lima dekade, akhirnya angkat bicara. Bukan sekadar soal rumah, ia menyuarakan soal martabat dan hak untuk hidup layak.
“Kami ini warga, bukan penyusup. Sudah lebih dari lima puluh tahun kami tinggal di sini. Rumah ini kami rawat, kami jaga. Bukan menumpang tanpa tanggung jawab,” ujar Bu Ati dengan suara bergetar namun tegas, Kamis (5/6/2025).
Ia menegaskan, warga Lempuyangan tidak berniat melawan hukum. Mereka hanya meminta diperlakukan secara manusiawi.
“Kami mau diajak rembukan, diajak diskusi. Tapi tolong, jangan langsung main SP (surat peringatan), main usir. Kami ini manusia, punya rasa, punya masa depan,” lanjutnya.
Menurut Bu Ati, banyak warga yang sudah lanjut usia kini mengalami tekanan mental akibat pendekatan yang dinilai kasar dan tanpa empati.
“Banyak di sini yang sudah sepuh. Kaget mereka. Kalau tiba-tiba diusir, harus pindah, lantas kami hidup dari mana?” ungkapnya.
Senada, Wisnu, warga lainnya, menyampaikan bahwa sebagian besar penghasilan warga bergantung pada usaha kecil, seperti jasa parkir harian.
“Kita dapat 100 sampai 190 ribu sehari dari parkiran. Cukup buat makan. Kalau digusur, semua hilang. Rumah hilang, usaha hilang, penghasilan lenyap. Terus kami hidup dari mana?” katanya pilu.
Lebih jauh, Bu Ati mempertanyakan keadilan perlakuan PT KAI yang dinilai mengabaikan kontribusi historis warga terhadap perusahaan tersebut.
“Orang tua kami dulu ikut membesarkan DKA, cikal bakal KAI. Mereka kerja bangun rel, bantu fasilitas. Sekarang dianggap tidak ada? Diperlakukan seperti pengganggu? Itu sangat menyakitkan,” ujarnya.
Warga berharap, jika kawasan ini akan dialihfungsikan untuk proyek biotop atau pengembangan ekonomi, maka seharusnya ada solusi yang mengakomodasi kehidupan mereka.
“Kalau mau dibangun biotop, ya kami dikasih kios. Kami bisa pergi asal ada tempat usaha, ada tempat tinggal yang layak. Jangan cuma digusur lalu disuruh terima nasib,” tegasnya.
Tak hanya kepada PT KAI, warga juga meluapkan kekecewaan kepada pihak Keraton Yogyakarta yang dinilai pasif.
“Keraton katanya mau jadi penengah, tapi kenyataannya tidak terbukti. Tak ada satu pun mediasi yang berpihak pada rakyat,” tutur Pak Wisnu.
Bagi warga, penggusuran ini bukan sekadar soal lahan, tapi bentuk pengabaian terhadap hak hidup dan keadilan sosial.
“Kami tidak minta lebih. Kami cuma minta yang pantas. Kami hidup dari sini. Kami tidak ingin kaya, hanya ingin bertahan,” ucap Bu Ati lirih.
Warga Kampung Lempuyangan kini masih menunggu itikad baik PT KAI dan Keraton untuk membuka ruang dialog yang sejati bukan sekadar formalitas atau pengumuman sepihak.
“Kalau mau bangun Jogja, bangun bersama rakyat. Bukan gusur rakyat. Jangan biarkan pembangunan berdiri di atas puing-puing kehidupan kami,” tutup Bu Ati.
(populi.id/Olyvia Cahaya)