Penurunan ini menjadi sinyal serius atas minimnya akses informasi dan kurangnya pelibatan difabel dalam proses politik.
Hal ini disampaikan oleh Ketua Divisi Sosialisasi, Pendidikan Pemilih, Partisipasi Masyarakat, dan SDM KPU DIY, Sri Surani, dalam Workshop Pendidikan Politik Bagi Kelompok Difabel yang digelar di Ros-In Hotel awal pekan kemarin.
Ia mengakui bahwa berbagai kendala masih menjadi hambatan utama keterlibatan kelompok difabel, mulai dari aspek teknis di Tempat Pemungutan Suara (TPS) hingga kurangnya pemahaman petugas.
Tak hanya itu, Redaktur Solider News Sasana Inklusi & Gerakan Advokasi Difabel atau SIGAB Indonesia, Ajiwan Arief Hendradi mengungkapkan jika sebagian besar penyandang disabiltas masih sering mengalami kesulitan dalam memahami informasi politik.
“Informasi politik yang tersedia masih sulit dipahami oleh teman-teman difabel. Bahasa yang digunakan terlalu tinggi dan bentuk penyajiannya belum ramah bagi semua ragam disabilitas,” kata Ajiwan Arief Hendradi.
Dalam survei yang dilakukan SIGAB, sebanyak 25,3 persen responden difabel menyatakan kesulitan memahami materi sosialisasi pemilu.
Sebagian besar merasa informasi terkait calon legislatif dan program politik dari partai masih sangat minim atau bahkan tidak tersedia dalam format yang dapat diakses, seperti video dengan juru bahasa isyarat atau teks mudah baca.
Hal ini berdampak pada pilihan politik yang terbatas. Banyak difabel memilih hanya mencoblos calon presiden karena tidak mengetahui siapa saja caleg atau peserta Pilkada.
Selain masalah informasi, keberadaan template Braille dan TPS aksesibel juga belum menyeluruh.
Beberapa penyelenggara di lapangan bahkan tidak memahami fungsi template Braille, dan kerap kali lalai dalam memberikan formulir pendamping (C3) bagi pemilih difabel.
“Sudah ada template, tapi hanya untuk Presiden dan DPD. Untuk DPR RI atau DPRD belum tersedia. Itu pun banyak KPPS yang enggak paham cara menggunakannya,” lanjut Sri Surani.
Sementara itu, Sartika dari Pusat Rehabilitasi Yakkum menekankan pentingnya kemandirian politik bagi difabel.
“Bukan hanya TPS yang akses, tapi bagaimana petugas memahami cara berinteraksi dengan teman tuli, atau difabel mental dan intelektual. Itu bagian dari akomodasi layak yang masih sering dilupakan.”
Minimnya akses terhadap informasi politik juga menyebabkan pemilih difabel rentan terhadap apatisme dan tidak merasa memiliki peran dalam menentukan masa depan politik di daerahnya.
Sartika menegaskan, partisipasi aktif difabel harus dimulai dari akses terhadap informasi yang setara dan representatif.
KPU DIY mengaku tengah melakukan evaluasi besar, termasuk perbaikan akses fisik kantor dan edukasi bagi petugas lapangan.
Namun, tanpa pelibatan penuh kelompok difabel dalam desain kebijakan dan materi sosialisasi, partisipasi politik yang inklusif masih menjadi pekerjaan rumah yang besar menjelang Pemilu 2029.
“Kami berharap ke depan, teman-teman difabel bisa benar-benar terlibat sejak awal, bukan hanya jadi objek sosialisasi,” pungkas Sri Surani.
Penurunan ini menjadi sinyal serius atas minimnya akses informasi dan kurangnya pelibatan difabel dalam proses politik.
Hal ini disampaikan oleh Ketua Divisi Sosialisasi, Pendidikan Pemilih, Partisipasi Masyarakat, dan SDM KPU DIY, Sri Surani, dalam Workshop Pendidikan Politik Bagi Kelompok Difabel yang digelar di Ros-In Hotel awal pekan kemarin.
Ia mengakui bahwa berbagai kendala masih menjadi hambatan utama keterlibatan kelompok difabel, mulai dari aspek teknis di Tempat Pemungutan Suara (TPS) hingga kurangnya pemahaman petugas.
Tak hanya itu, Redaktur Solider News Sasana Inklusi & Gerakan Advokasi Difabel atau SIGAB Indonesia, Ajiwan Arief Hendradi mengungkapkan jika sebagian besar penyandang disabiltas masih sering mengalami kesulitan dalam memahami informasi politik.
“Informasi politik yang tersedia masih sulit dipahami oleh teman-teman difabel. Bahasa yang digunakan terlalu tinggi dan bentuk penyajiannya belum ramah bagi semua ragam disabilitas,” kata Ajiwan Arief Hendradi.
Dalam survei yang dilakukan SIGAB, sebanyak 25,3 persen responden difabel menyatakan kesulitan memahami materi sosialisasi pemilu.
Sebagian besar merasa informasi terkait calon legislatif dan program politik dari partai masih sangat minim atau bahkan tidak tersedia dalam format yang dapat diakses, seperti video dengan juru bahasa isyarat atau teks mudah baca.
Hal ini berdampak pada pilihan politik yang terbatas. Banyak difabel memilih hanya mencoblos calon presiden karena tidak mengetahui siapa saja caleg atau peserta Pilkada.
Selain masalah informasi, keberadaan template Braille dan TPS aksesibel juga belum menyeluruh.
Beberapa penyelenggara di lapangan bahkan tidak memahami fungsi template Braille, dan kerap kali lalai dalam memberikan formulir pendamping (C3) bagi pemilih difabel.
“Sudah ada template, tapi hanya untuk Presiden dan DPD. Untuk DPR RI atau DPRD belum tersedia. Itu pun banyak KPPS yang enggak paham cara menggunakannya,” lanjut Sri Surani.
Sementara itu, Sartika dari Pusat Rehabilitasi Yakkum menekankan pentingnya kemandirian politik bagi difabel.
“Bukan hanya TPS yang akses, tapi bagaimana petugas memahami cara berinteraksi dengan teman tuli, atau difabel mental dan intelektual. Itu bagian dari akomodasi layak yang masih sering dilupakan.”
Minimnya akses terhadap informasi politik juga menyebabkan pemilih difabel rentan terhadap apatisme dan tidak merasa memiliki peran dalam menentukan masa depan politik di daerahnya.
Sartika menegaskan, partisipasi aktif difabel harus dimulai dari akses terhadap informasi yang setara dan representatif.
KPU DIY mengaku tengah melakukan evaluasi besar, termasuk perbaikan akses fisik kantor dan edukasi bagi petugas lapangan.
Namun, tanpa pelibatan penuh kelompok difabel dalam desain kebijakan dan materi sosialisasi, partisipasi politik yang inklusif masih menjadi pekerjaan rumah yang besar menjelang Pemilu 2029.
“Kami berharap ke depan, teman-teman difabel bisa benar-benar terlibat sejak awal, bukan hanya jadi objek sosialisasi,” pungkas Sri Surani.