BANTUL, POPULI.ID – Dalam beberapa tahun terakhir, Indonesia menghadapi tantangan serius dalam penegakan hukum lingkungan hidup.
Di satu sisi, kerusakan ekologi terus berlangsung; mulai dari kebakaran hutan, penebangan liar, hingga eksploitasi lahan secara brutal oleh sejumlah pihak.
Namun di sisi lain, para pembela lingkungan, termasuk akademisi dan saksi ahli, justru menghadapi tekanan balik berupa gugatan hukum saat mereka menyampaikan fakta dan data ilmiah di pengadilan.
Fenomena intimidasi hukum terhadap pembela lingkungan ini kian menjadi sorotan, seperti yang dialami salah satu guru besar dari Institut Pertanian Bogor (IPB) beberapa waktu lalu.
Perkara tersebut memicu kekhawatiran akan terjadinya pembungkaman terhadap suara-suara yang seharusnya dilindungi negara.
Anggota Lembaga Lingkungan Hidup dan Penanggulangan Bencana (LLHPB), Pimpinan Pusat ‘Aisyiyah sekaligus dosen Fakultas Hukum (FH) Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), Prof. Dr. Yeni Widowaty menyebut bahwa fenomena tersebut termasuk dalam kategori Strategic Lawsuit Against Public Participation (SLAPP), yakni gugatan hukum strategis yang ditujukan untuk melemahkan partisipasi publik dan menakut-nakuti pihak yang kritis terhadap kepentingan tertentu.
“Hal ini sangat berbahaya, bukan hanya bagi individu yang digugat, tapi juga bagi masa depan ekosistem kita. Jika ahli lingkungan, ilmuwan, atau dosen yang memberi keterangan ilmiah di persidangan justru diperkarakan, maka kita sedang mundur. Ini bukan sekadar intimidasi terhadap individu, tapi juga perlawanan terhadap ilmu pengetahuan,” tegas Prof. Yeni dikutip dari laman UMY, Rabu (9/7/2025).
Padahal, lanjutnya, negara sudah memiliki payung hukum yang tegas untuk melindungi para pejuang lingkungan. Pasal 66 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU PPLH) menyatakan bahwa:
“Setiap orang yang memperjuangkan hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat tidak dapat dituntut secara pidana maupun digugat secara perdata,” lanjutnya.
Ketentuan ini, jelas Prof. Yeni, bertujuan untuk melindungi korban dan pelapor dalam kasus pencemaran dan perusakan lingkungan, serta mencegah tindakan intimidatif. Namun dalam praktiknya, perlindungan ini masih jauh dari harapan.
Banyak pelaku usaha yang justru memanfaatkan celah hukum untuk melemahkan pembuktian ilmiah dan membalikkan posisi hukum di pengadilan.
“Kalau keterangan ahli bisa diseret ke ranah perdata hanya karena tidak menguntungkan pihak tertentu, lalu bagaimana mungkin keadilan lingkungan bisa ditegakkan?” kritiknya.
Saksi Ahli sebagai Penjembatan Fakta dan Hukum
Prof. Yeni menekankan bahwa peran saksi ahli dalam kasus lingkungan sangat krusial. Mereka menjembatani antara temuan lapangan dengan kerangka hukum, serta memberikan analisis berbasis data ilmiah, bukan asumsi semata.
“Tanpa saksi ahli, banyak kasus kerusakan lingkungan akan sulit dibuktikan secara kuat di hadapan hukum,” katanya.
Karena itu, Indonesia dinilai perlu membenahi sistem penegakan hukum secara menyeluruh dan tegas. Negara harus hadir tidak hanya sebagai pembuat regulasi, tetapi juga sebagai pelindung kepentingan ekologi dan generasi masa depan.
Efek Berantai Kerusakan Lingkungan
Lebih jauh, penegakan hukum lingkungan bukan sekadar isu keadilan, tetapi menyangkut keselamatan hidup masyarakat. Kerusakan ekosistem menyebabkan efek berantai yang membahayakan kesehatan publik, mengganggu stabilitas lingkungan, dan menimbulkan kerugian ekonomi dalam jangka panjang.
“Ketika hutan dibakar atau hutan lindung dibabat untuk industri, kita kehilangan lebih dari sekadar pohon. Kita kehilangan penyangga air, udara bersih, dan perlindungan dari bencana. Asapnya menimbulkan gangguan pernapasan, terutama bagi anak-anak dan lansia. Dampaknya juga merusak rantai makanan dan mengancam keanekaragaman hayati,” jelasnya.
Dampak ekonominya pun tak kalah serius. Banyak bencana non-alam berakar dari kerusakan lingkungan yang dibiarkan tanpa penegakan hukum yang tegas. Negara akan terus membayar mahal jika pelanggaran ini tidak dihentikan secara sistematis.
Perlindungan Pejuang Lingkungan Harus Menjadi Komitmen Bersama
Akhirnya, Prof. Yeni menegaskan bahwa keberanian untuk bersuara menjadi kunci utama dalam menjaga keberlanjutan lingkungan. Para ahli, akademisi, dan masyarakat harus tetap teguh menyuarakan kebenaran meski dihadapkan pada berbagai tekanan hukum. Perlindungan terhadap mereka yang memperjuangkan lingkungan adalah komitmen moral dan hukum yang harus dijunjung tinggi.
“Kita butuh sistem hukum yang bukan hanya kuat secara normatif, tetapi juga berpihak pada keadilan ekologi. Hukum harus menjadi penjaga lingkungan, bukan alat pembungkaman,” tutupnya.