BANTUL, POPULI.ID – Indonesia merupakan salah satu negara dengan tingkat kerawanan gempa tertinggi di dunia, karena terletak di kawasan Cincin Api Pasifik atau Ring of Fire.
Kawasan ini merupakan jalur pertemuan lempeng-lempeng tektonik aktif, yang kerap memicu aktivitas seismik, mulai dari gempa bumi hingga letusan gunung berapi. Khususnya di Pulau Jawa, risiko gempa terbilang tinggi karena berada di antara Lempeng Indo-Australia dan Lempeng Eurasia yang terus bergerak sekitar 6 cm per tahun ke arah utara.
Pergerakan ini berpotensi menimbulkan gempa berskala besar hingga tsunami, terutama di wilayah pesisir selatan Jawa.
Melihat kondisi tersebut, penting bagi masyarakat untuk memiliki sistem mitigasi bencana yang dapat memberikan peringatan dini secara cepat dan efektif.
Menjawab kebutuhan ini, tiga dosen dari Program Studi Teknik Mesin Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), yaitu Ir. Thoharudin, Ir. Sunardi dan Fitroh Anugrah Kusuma Yudha merancang alat pendeteksi gempa sederhana namun efektif, yang saat ini telah dipasang di tiga titik strategis di Desa Geblagan, Tamantirto, Kabupaten Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta.
Alat ini memanfaatkan mikrokontroler Arduino Nano dan sensor getaran SW-420 yang dirancang untuk merespons getaran yang terjadi secara beruntun (lebih dari lima gelombang), sehingga tidak mudah dipicu oleh getaran kecil yang bersifat sementara.
Jika terdeteksi, sensor akan mengaktifkan sirine bertenaga listrik 220 volt dengan bunyi yang cukup keras untuk membangunkan warga, terutama saat gempa terjadi di malam hari.
“Sensor akan membaca getaran. Jika terjadi getaran beruntun, relay akan mengaktifkan sirine. Alat ini telah dipasang di titik-titik strategis seperti rumah warga, balai RT, dan rumah tokoh masyarakat,” jelas Thoharudin sebagaimana dikutip dari laman UMY, Selasa (15/7/2025).
Keunggulan dari alat tersebut tidak hanya terletak pada teknologinya yang responsif, tetapi juga pada kesederhanaan dan ketersediaan komponennya. Semua komponen, seperti Arduino Nano, sensor SW 420, relay, dan sirine dapat diperoleh dengan mudah di toko elektronik offline maupun marketplace online dengan harga terjangkau.
“Unit sensor dan kontrol dapat ditempatkan di dalam ruangan agar terlindung dari kerusakan, sementara sirine dipasang di luar agar bunyinya menjangkau lebih luas. Proses perakitannya pun hanya memerlukan waktu kurang dari seminggu,” tambahnya.
Respons warga Desa Geblagan pun sangat positif. Kehadiran sirine membuat mereka merasa lebih aman karena dapat segera mengetahui saat terjadi gempa yang berpotensi membahayakan.
Ke depan, tim pengembang berencana menyempurnakan alat ini dengan menambahkan kecerdasan buatan (Artificial Intelligence). Dengan demikian, alat tidak hanya merespons getaran, tetapi juga mampu membedakan antara getaran biasa dan gempa bumi secara lebih akurat, serta mengenali pola-pola seismik yang lebih kompleks.
“Penggunaan AI akan membuat alat ini menjadi lebih cerdas dan adaptif. Ini bagian dari upaya jangka panjang untuk menciptakan sistem mitigasi bencana yang lebih tangguh,” pungkas Thoharudin.
Para dosen Teknik Mesin UMY tersebut berharap bahwa inovasi ini dapat diimplementasikan secara luas di berbagai wilayah rawan gempa di Indonesia. Selain itu, mereka juga mendorong kolaborasi lintas sektor antara perguruan tinggi, pemerintah, dan masyarakat untuk memperkuat ketangguhan nasional dalam menghadapi bencana alam.