GUNUNGKIDUL, POPULI.ID – Polemik pengosongan kawasan Pantai Sanglen, Gunungkidul, memantik perhatian Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta, Sri Sultan Hamengku Buwono X.
Menanggapi protes dari warga dan lembaga bantuan hukum (LBH), Sri Sultan menekankan pentingnya penyelesaian dengan pendekatan yang beradab dengan membuka ruang dialog, memberi kompensasi yang layak, dan tetap menjunjung aturan hukum.
“Ya gak apa-apa, mau dialog aja gak apa-apa. Didialogin aja. Itu loh. Untuk dipahami statusnya tanah bagaimana. Ya kan? Ada penggantinya gak. Jangan diterlantarkan,” ujar Sri Sultan di Kompleks Kepatihan, Yogyakarta, Selasa (29/7).
Sultan menegaskan bahwa lahan yang kini dipersoalkan merupakan milik Kraton Yogyakarta.
Ia pun mempertanyakan dasar hukum warga yang selama ini menempati lahan tersebut, sembari tetap menekankan pentingnya memberikan ganti rugi secara pantas jika memang harus digusur.
“Kalau memang tidak punya hak atas tanah, ya harus menerima. Tapi kalau diberi pesangon, itu cukup atau tidak? Itu yang harus dibicarakan,” tegasnya.
Isu pengosongan ini muncul seiring rencana pembangunan hotel di kawasan Pantai Sanglen sebagai bagian dari pengembangan destinasi wisata Gunungkidul.
Menanggapi hal itu, Sultan menyatakan tak masalah selama prosesnya mengikuti prosedur yang berlaku dan telah mendapatkan restu dari Bupati.
“Silakan aja. Yang penting untuk bikin apa disetujui oleh Bu Bupati, ya boleh aja gitu. Untuk investasi atau apa pun, silakan aja. Tapi rembukan yang baik, gitu aja,” ujarnya.
Sultan juga mengingatkan bahwa relokasi bukan hal baru. Ia mencontohkan pengalamannya saat memindahkan para pedagang kaki lima (PKL) yang semula juga menolak, namun akhirnya tetap bersedia pindah setelah diberikan waktu dan solusi.
“Saya bilang, mau fasilitasi PKL juga suruh pindah, tapi saya ngerti, pindah dikasih waktu 2 tahun, tetep ngeyel. Ya kan?”
Sementara itu, Bupati Gunungkidul, Endah Subekti Kuntariningsih, mengajak warga untuk mendukung pembangunan kawasan wisata tersebut.
Menurutnya, proyek ini didasari legalitas jelas, mulai dari izin dari Kraton hingga surat resmi dari pemerintah kalurahan.
“Potensi wisata ini akan membuka lapangan kerja, memberdayakan Pokdarwis, dan menggerakkan UMKM. Jangan disia-siakan,” kata Endah.
Bupati juga mengkritisi kehadiran sejumlah pihak yang baru muncul setelah kabar investasi mencuat.
Ia menilai, sebagian besar dari sekitar 50 warga yang menolak pengosongan bukanlah penduduk lama di kawasan tersebut.
“Dulu hanya satu-dua orang yang menetap. Setelah isu investasi muncul, tiba-tiba banyak yang datang dan mengklaim lahan,” ungkapnya.
Untuk menghindari konflik berlarut, Pemkab telah menyiapkan lokasi relokasi seperti Pasar Besole dan Taman Kuliner.
Endah mengimbau warga untuk memahami situasi dan tidak memaksakan kehendak atas lahan yang bukan haknya.
“Kita ini punya adat dan etika. Kalau tahu itu bukan tanahnya, sebaiknya mengalah. Kami siap bantu agar usaha warga tetap bisa berjalan, tapi di tempat yang tepat,” tegasnya.
Endah menegaskan komitmen pemerintah untuk tetap turun ke lapangan dan memastikan proses ini berjalan dengan tertib dan bermartabat.
“Rezeki tidak akan tertukar. Yang penting kita jalani dengan cara yang baik, tertib, dan sesuai aturan,” tutup Endah.
Baik Sri Sultan maupun Bupati Endah sepakat bahwa proses pengosongan lahan tidak boleh dilakukan secara semena-mena.