BANTUL, POPULI.ID – Fenomena gerakan Stop Tot-Tot Wuk Wuk yang viral di media sosial dinilai sebagai bentuk protes wajar masyarakat terhadap perilaku pejabat yang sering meminta prioritas di jalan dengan sirine atau strobo. Bagi publik, bunyi “tot-tot wuk-wuk” kini tak lagi sekadar suara kendaraan darurat, melainkan simbol ketidakadilan yang mereka rasakan setiap hari.
Pakar sosiologi Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), Prof. Dr. Zuly Qodir, M.Ag., menegaskan keresahan ini tidak boleh dianggap remeh.
“Kondisi sosial, ekonomi, dan politik kita sebenarnya tidak sedang baik-baik saja. Banyak orang miskin, banyak yang kesulitan mendapat pekerjaan, sementara elit politik sering kehilangan kepercayaan publik. Dalam situasi seperti itu, hal-hal kecil seperti sirine bisa menjadi pemicu kemarahan,” ujarnya mengutip dari laman UMY, Selasa (23/9/2025).
Menurut Zuly, pejabat negara seharusnya lebih peka terhadap kondisi masyarakat.
“Kalau Presiden atau ambulans, wajar diberi prioritas. Tapi kalau semua pejabat, dari anggota DPR, bupati, sampai staf, merasa berhak dapat fasilitas khusus, itu jelas mengganggu ketenangan publik. Wajar masyarakat protes, karena mereka juga sama-sama pembayar pajak,” tegasnya.
Ia mengingatkan, jika keresahan ini tidak ditanggapi serius, protes damai bisa berkembang menjadi amuk massa.
“Secara sosiologis, ini adalah tahap awal protes publik. Kalau dibiarkan, akumulasi kemarahan bisa berbahaya, bahkan berujung pada kerusuhan. Itu yang harus dicegah sejak dini,” jelasnya.
Soal istilah “tot-tot wuk-wuk”, Zuly menilai itu sebagai bentuk kreativitas masyarakat dalam menyampaikan kritik.
“Bahasanya sederhana, lucu, tapi mengena. Itu menunjukkan masyarakat punya cara halus untuk protes. Kalau tidak direspons, jangan kaget kalau bentuk protes ke depan akan lebih keras,” katanya.
Lebih lanjut, ia menegaskan perlunya aturan tegas mengenai siapa saja yang berhak menggunakan sirine.
“Sirine sebaiknya hanya untuk Presiden, ambulans, pemadam kebakaran, atau polisi dalam kondisi darurat. Jangan semua pejabat merasa VVIP. Kalau memang ada agenda penting, ya atur waktu perjalanan lebih awal, jangan malah mengorbankan ketertiban publik,” tutur Zuly.
Ia juga menilai gerakan Stop Tot-Tot Wuk Wuk berpotensi berkembang menjadi lebih dari sekadar tren media sosial.
“Kalau tidak ada respon baik dari pemerintah, protes ini bisa berubah menjadi gerakan sosial terorganisasi. Bedanya dengan demonstrasi, gerakan itu berkelanjutan dan berpotensi melahirkan perubahan nyata,” katanya.
Di akhir, Zuly mengajak masyarakat tetap kritis namun damai, sekaligus mendorong pemerintah untuk lebih mendengar aspirasi rakyat.
“Protes itu wajar. Tapi harus dikelola agar menjadi gerakan positif, bukan sekadar luapan emosi. Kalau semua pihak mau belajar dari fenomena ini, justru bisa menjadi momentum memperbaiki hubungan antara rakyat dan pejabat,” pungkasnya.