YOGYAKARTA, POPULI.ID – Pengelolaan sampah di lingkungan pesantren Kota Yogyakarta menjadi perhatian berbagai pihak, termasuk Kantor Kementerian Agama (Kemenag) dan Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kota Yogyakarta. Dengan jumlah mencapai 36 pesantren yang memiliki karakteristik dan jumlah santri berbeda-beda, pendekatan terhadap pengelolaan sampah pun tidak bisa disamaratakan.
Kepala Kantor Kemenag Kota Yogyakarta, Ahmad Shidqi, mengatakan pengelolaan sampah di pesantren pada dasarnya menjadi kebijakan masing-masing lembaga. Tergantung pada skala dan kapasitasnya.
“Di Kota Yogyakarta ada 36 pesantren dengan berbagai jenis. Ada yang santrinya hanya puluhan, ada yang ratusan hingga ribuan. Tentu pengelolaan sampahnya berbeda-beda,” katanya, Kamis (16/10/2025).
Untuk pesantren kecil dengan jumlah santri sedikit, menurutnya, pengelolaan sampah masih dilakukan secara konvensional. Sampah dikumpulkan dan kemudian disalurkan ke depo sampah yang ada di Kota Yogyakarta.
Sementara itu, kata Ahmad, beberapa pesantren besar mulai menunjukkan kemajuan dalam pengelolaan sampah secara mandiri. Termasuk dengan memisahkan jenis sampah sejak awal.
Satu di antaranya yang menjadi perhatian dan telah menjadi contoh baik adalah Pesantren Krapyak yang berada di perbatasan antara Kota Yogyakarta dan Kabupaten Bantul.
“Pesantren Krapyak sudah berhasil mengolah sampahnya sendiri. Selain menghemat biaya, mereka juga bisa menghasilkan sesuatu dari sampah tersebut. Ini yang kami harapkan bisa diadopsi dan diduplikasi oleh pesantren-pesantren lain, tentu dengan kreativitas masing-masing,” ujar Ahmad.
Kantor Kemenag Kota Yogyakarta bersama Badan Zakat Nasional (Baznas) pun sempat melakukan studi tiru ke Pesantren Krapyak untuk melihat langsung praktik baik pengelolaan sampah di sana.
Ahmad menegaskan bahwa pengelolaan sampah harus menjadi tanggung jawab bersama, termasuk oleh kalangan pesantren. Ia juga menyebut bahwa kegiatan Hari Santri 2025 mendatang yang akan digelar dengan tema “Resik Santri” merupakan bagian dari edukasi kepada para santri tentang pentingnya pengelolaan sampah.
Namun demikian, Ahmad mengakui sebagian besar pesantren masih bekerja sama dengan pihak ketiga atau swasta dalam urusan sampah. Sampah dikumpulkan dan diserahkan ke depo tanpa pengelolaan lebih lanjut di lokasi.
“Mereka mengumpulkan, kemudian nanti diserahkan ke depo atau dilimpahkan ke depo dan lain sebagainya. Untuk di Kota Yogyakarta sendiri masih seperti itu,” ungkapnya.
Kepala Bidang Pengelolaan Persampahan Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kota Yogyakarta, Ahmad Haryoko, menyebut sebelum masa darurat sampah di Yogyakarta, pihaknya sebenarnya sudah memberikan pelayanan ke sejumlah pesantren, termasuk Pesantren Krapyak.
“Karena berada di perbatasan, dulu sempat bingung mau masuk wilayah Kota (Yogyakarta) atau Bantul. Tapi karena komunikasi yang baik dengan kami, akhirnya kami bantu pelayanan sampahnya,” ungkap Haryoko.
Menurutnya, pengelolaan sampah di Pesantren Krapyak kini menjadi salah satu yang terbaik dan telah menjadi percontohan bagi pesantren lain di Yogyakarta. Meskipun tidak semua pesantren memiliki lahan seperti di Krapyak, namun Haryoko menekankan jenis sampah yang paling banyak dihasilkan di pesantren adalah sampah makanan atau food waste yang sebenarnya bisa diolah di lokasi.
“Sampah organik bisa dimanfaatkan untuk berbagai hal, misalnya untuk ternak, budidaya maggot, atau kalau masih segar bisa masuk ke food bank dan disalurkan ke panti asuhan melalui dinas pertanian,” jelasnya.
Haryoko menyebut dinasnya juga terus mendorong para pengelola pesantren untuk memaksimalkan berbagai metode pengolahan sampah, terutama sampah organik, agar bisa ditangani langsung di wilayah masing-masing. Sedangkan untuk sampah anorganik, ia yakin sudah banyak pesantren yang mendapatkan pelatihan dan mampu memanfaatkannya dengan baik.
“Kalau yang anorganik saya juga yakin sudah ada pendidikan atau pembelajaran bahkan bimtek di masing-masing pesantren. Untuk yang organik itu bisa dimanfaatkan untuk berbagai hal,” katanya.