SLEMAN, POPULI.ID – Seiring bertambahnya penduduk hingga pertumbuhan ekonomi di wilayah Sleman, alih fungsi lahan menjadi satu hal yang sulit untuk dihindari.
Sekretaris Komisi C DPRD Sleman yang juga anggota Badan Anggaran, Untung Basuki Rahmat, menyebut fenomena ini sebagai keniscayaan akibat ketimpangan zonasi lama.
“Dulu zonasi di wilayah Sleman itu enggak adil. Ada wilayah yang seluruhnya hijau, sementara daerah lain kuning semua. Padahal kemajuan harusnya menyebar. Akhirnya, warga secara mandiri melakukan alih fungsi lahan untuk kos-kosan, rumah makan, dan homestay demi mengejar kesejahteraan,” ujar kader PPP itu saat talkshow Wedangan Sembada yang ditayangkan di Sleman TV.
Menurut Untung, banyak warga di zona yang diplot sebagai area hijau beralih menjadi pengusaha kecil karena hasil “nandong kos-kosan” lebih menguntungkan daripada menanam padi.
Apalagi tantangan di wilayah yang masuk zona pertanian terdapat kelemahan infrastruktur seperti irigasi dan embung yang tidak memadai.
“Petani di Sleman itu sering kekurangan air. Mereka tergantung pasokan air dari Selokan Mataram, yang setiap tahun bisa mati tiga bulan. Kalau air mati, sawah ikut mati,” tambahnya.
Tetapi, menyambung perihal alih fungsi lahan yang terjadi di Sleman terutama di wilayah barat, Untung menilai hal tersebut sebetulnya terdapat sisi positifnya bila dipandang dari kemanfaatannya.
Terjadinya alih fungsi lahan sebetulnya bisa memberikan manfaat untuk peningkatan Pendapatan Asli Daerah atau PAD.
Jadi lahan yang beralih fungsi semisal menjadi tempat usaha atau kos-kosan bisa dimaksimalkan lewat pajaknya.
“Ini bisa jadi sumber PAD baru kalau bisa dimaksimalkan. Muaranya tentu ini akan kembali untuk kesejahteraan masyarakat di Sleman,” jelasnya.
Sementara itu, anggota Komisi C DPRD Sleman, Sumariyatin, melihat perubahan fungsi lahan sebagai dilema antara ketahanan pangan dan kebutuhan ekonomi.
“Manusia tetap butuh makan, tapi di sisi lain juga butuh penghasilan. Kalau alih fungsi dilakukan dengan hati-hati dan tetap ada lahan produktif, saya kira bisa ditoleransi. Yang penting jangan sampai lahan di Sleman nganggur,” kata kader Partai Keadilan Sejahtera itu.
Ia menegaskan bahwa pemerintah memiliki peran ganda: melindungi dan melayani. Artinya, kebijakan izin usaha harus dibarengi dengan kewajiban menyerap tenaga kerja lokal serta taat pajak.
“Kalau ada hotel atau rumah sakit baru, tenaga kerja lokal harus jadi prioritas. Itu bagian dari niat baik pemerintah agar manfaat ekonomi dirasakan masyarakat sekitar. Selain itu tentu juga pelaku usaha taat pajak agar pendapatan yang didapat pemerintah bisa untuk pemerataan pembangunan dan peningkatan ekonomi bagi warganya,” ujarnya.
Dari sisi fiskal, alih fungsi lahan terbukti memberi dampak positif bagi PAD Sleman.
Kepala BKAD Kabupaten Sleman, Abu Bakar, menyebut bahwa geliat ekonomi dari sektor properti dan pariwisata telah meningkatkan pendapatan pajak daerah.
“Sekarang banyak kampus dan rumah sakit besar pindah ke wilayah barat. Dari situ muncul usaha baru — kos, laundry, angkringan. Perputaran uang masyarakat meningkat, otomatis PBB, pajak hotel, dan restoran ikut naik. Dari pajak itu, kami kembalikan ke masyarakat dalam bentuk infrastruktur dan jaringan irigasi,” ungkapnya.
Ia menambahkan bahwa konsep aglomerasi wilayah barat Sleman telah menciptakan ekosistem ekonomi yang hidup.
“Dulu wilayah desa, sekarang kota. Tapi lahan pertanian subur tetap kami jaga melalui pemetaan yang jelas,” katanya.
Abu menegaskan bahwa PAD Sleman tumbuh berkat keseimbangan antara pertanian, pendidikan, dan pariwisata.
“Yang penting kita menata. Pertanian tetap dijaga, tapi ekonomi lokal juga harus tumbuh,” tutupnya.
Dengan arah kebijakan yang lebih inklusif dan zonasi yang adil, Sleman mencoba menjaga dua hal yang tampak bertolak belakang: sawah yang hijau dan ekonomi yang makmur.












