BANTUL, POPULI.ID – Aktivitas fotografi di ruang publik selama ini dianggap wajar dan bebas dilakukan oleh siapa saja. Namun, di era digital yang serba terhubung, praktik tersebut mulai menimbulkan perdebatan baru: apakah seseorang masih berhak atas privasinya ketika berada di tempat umum?
Pertanyaan ini semakin relevan ketika banyak foto yang diambil di jalan, taman, atau area publik kemudian diunggah, disebarluaskan, bahkan diperdagangkan tanpa izin. Menurut Fajar Junaedi, pengamat media sekaligus dosen Ilmu Komunikasi Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), fenomena ini menegaskan pentingnya penegakan etika fotografi publik di tengah kemajuan teknologi dan budaya visual masa kini.
“Persoalan fotografi publik bukan sekadar soal merekam gambar, tetapi juga siapa yang direkam, dalam konteks apa, dan bagaimana foto itu digunakan. Di sinilah isu privasi menjadi sangat krusial,” ujar Fajar mengutip dari laman UMY, Sabtu (1/11/2025).
Fajar merujuk pada hasil penelitian Melissa Kate Miles (2015) berjudul Photography, Privacy and the Public, yang menjelaskan bahwa perubahan sosial dan teknologi telah mengaburkan batas antara ruang pribadi dan ruang publik.
Ketika seseorang berada di ruang publik, ekspektasi terhadap privasi memang menurun, namun hal itu tidak berarti fotografer bebas memotret dan menyebarkan gambar tanpa izin.
Lebih lanjut, Fajar menegaskan pentingnya menjaga keseimbangan antara hak kebebasan berekspresi dan hak privasi individu.
“Fotografi, jurnalistik, dan seni merupakan bagian dari kebebasan berekspresi. Namun tetap ada batas moral dan hukum, terutama ketika foto seseorang digunakan tanpa konteks yang tepat atau justru menempatkannya dalam posisi rentan,” jelasnya.
Ia juga menyoroti bahwa persepsi tentang privasi sangat dipengaruhi oleh budaya, norma sosial, dan kekuatan institusional seperti media dan korporasi. Misalnya, memotret kerumunan di ruang publik bisa dianggap wajar, tetapi mengambil foto individu dalam situasi pribadi tetap dapat dikategorikan sebagai pelanggaran etika.
“Yang penting saat ini adalah bagaimana fotografer, media, dan publik belajar menghormati individu meskipun mereka berada di ruang publik. Etika tidak berhenti di batas trotoar,” pungkasnya.











