YOGYAKARTA, POPULI.ID – Dinas Kesehatan (Dinkes) Kota Yogyakarta mengungkapkan bahwa pada periode Januari hingga akhir Oktober 2025 tercatat ada 26 kasus leptospirosis di Kota Yogyakarta. Sebanyak enam di antaranya meninggal dunia dengan kasus kematian terakhir terjadi pada bulan Oktober yang menimpa warga Kelurahan Bumijo, Kemantren Jetis.
Kepala Seksi Pencegahan, Pengendalian Penyakit Menular dan Imunisasi Dinkes Kota Yogyakarta, Endang Sri Rahayu, mengatakan memasuki musim penghujan, pihaknya mengimbau masyarakat untuk meningkatkan kewaspadaan terhadap penyakit yang berpotensi muncul akibat lingkungan lembab dan genangan air, terutama leptospirosis.
Penyakit ini disebabkan oleh bakteri leptospira yang umumnya ditularkan melalui air atau tanah yang terkontaminasi urine hewan, terutama tikus.
“Ini menjadi pengingat bagi kita untuk tidak menyepelekan penyakit leptospirosis. Karena kalau tidak segera ditangani, infeksi ini bisa berakibat fatal, seperti gagal ginjal atau gangguan paru,” ujarnya, Kamis (6/11/2025).
Ia menyebut leptospirosis kerap muncul pada musim hujan karena peningkatan populasi tikus dan kondisi lingkungan yang lembab. Persoalan sampah yang belum sepenuhnya tertangani di perkotaan juga menjadi faktor risiko utama, sebab tumpukan sampah menjadi tempat berkembang biaknya tikus.
“Semakin banyak sampah, semakin banyak tikus. Pencegahan bisa dimulai dari rumah dengan menjaga kebersihan lingkungan, menutup makanan dan minuman agar tidak terkontaminasi, serta cuci tangan dan kaki dengan sabun setelah beraktivitas, terutama setelah kerja bakti atau bersentuhan dengan air dan tanah,” beber Endang.
Ia juga menegaskan pentingnya deteksi dini terhadap gejala leptospirosis. Kasus kematian seringkali disebabkan oleh keterlambatan penanganan.
Endang menyebut kasus parah seringkali awalnya dikira gagal ginjal. Padahal akar masalahnya adalah leptospirosis yang menyebabkan pasien sudah dalam kondisi terminal saat tiba di fasilitas kesehatan.
“Meninggalnya itu dalam kondisi klinis sudah lanjut, sehingga sudah tidak tertolong dan sudah ke rumah sakit. Kalau sudah minggu kedua, biasanya sudah komplikasi kerusakan ginjal dan organ yang lain,” ungkapnya.
Endang juga mengimbau masyarakat yang bekerja di lingkungan berisiko seperti pengelola sampah dan petugas kebersihan untuk menggunakan alat pelindung diri (APD) berupa sepatu bot dan sarung tangan panjang, serta menutup luka sebelum beraktivitas di tempat lembab.
Ketua Tim Kerja Surveilans Pengelolaan Data dan Sistem Informasi Kesehatan Dinkes Kota Yogyakarta, Sholikhin Dwi Ramtana, menjelaskan upaya pencegahan leptospirosis telah dijalankan sesuai Permenko Nomor 17 Tahun 2022 tentang Pencegahan, Pengendalian, dan Penanggulangan Zoonosis.
“Kami menerapkan pencegahan primer dan sekunder. Pencegahan primer melibatkan banyak sektor untuk edukasi dan pengendalian faktor risiko lingkungan. Sementara pencegahan sekunder dilakukan dengan meningkatkan kewaspadaan tenaga kesehatan agar bisa mengenali gejala sejak dini,” jelasnya.
Dinkes juga telah melakukan survei reservoir di dua lokasi, yaitu Perumahan Lapas dan Bumijo, dengan mengambil sampel air, tanah, serta menangkap tikus untuk pemeriksaan laboratorium.
“Hasil di kawasan Lapas menunjukkan sebagian besar tikus positif mengandung bakteri Leptospira,” ungkap Sholikhin.
Ia mengatakan bahwa selain tikus, hewan mamalia lain seperti anjing, sapi, kambing, dan kuda juga berpotensi menularkan leptospirosis. Meskipun tikus tetap menjadi sumber utama di kawasan perkotaan.
“Kalau tidak segera ditangani, maka sudah dipastikan pasti akan terminal. Ujungnya adalah nanti berat, lalu jadi buruk, kemudian komplikasi ginjal dan seterusnya,” katanya.











