YOGYAKARTA, POPULI.ID – Upaya pengendalian tuberkulosis (TBC) di Kota Yogyakarta kembali diperkuat di tengah meningkatnya temuan kasus penyakit tersebut. Dinas Kesehatan (Dinkes) Kota Yogyakarta mencatat hingga Oktober 2025, terdapat hampir 900 kasus TBC. Sekitar 12–13 persen di antaranya menyerang anak-anak.
Kepala Seksi Pencegahan Pengendalian Penyakit Menular dan Imunisasi Dinkes Kota Yogyakarta, Endang Sri Rahayu, menekankan bahwa anak dengan TBC umumnya bukan sumber penularan, melainkan kelompok yang tertular dari orang dewasa di sekitarnya. Ia menyebut penularan bisa terjadi dari siapa saja yang berinteraksi dekat dengan anak.
“Bisa dari orang tua, tetangga, pengasuh, atau bahkan orang yang sering ditemui sehari-hari. Pernah ada kasus anak tertular dari tukang sayur langganan ibunya,” katanya, Jumat (14/11/2025).
Dalam hal pencegahan, vaksin BCG masih menjadi satu-satunya imunisasi untuk TBC. Hanya saja, efektivitasnya tidak bisa diandalkan sepenuhnya.
“Efektivitasnya sekitar 60 persen, sehingga strategi pengendalian tidak cukup hanya dengan vaksin. Kunci utamanya tetap pada penemuan kasus, pengobatan tuntas, dan edukasi kepada masyarakat,” ujar Endang.
Indonesia masih menghadapi beban TBC yang tinggi. Endang menjelaskan, secara global Indonesia berada di posisi kedua dengan kasus TBC terbanyak. Sehingga penanganannya menjadi program prioritas pemerintah pusat.
“Karena beban kasusnya tinggi, TBC masuk program Quick Win Presiden. Di Jogja, langkah utama kami adalah memperkuat penemuan kasus aktif melalui kolaborasi, salah satunya dengan UGM,” ungkapnya.
Dinkes Kota Yogyakarta bersama tim Fakultas Kedokteran UGM rutin menggelar pemeriksaan rontgen keliling di permukiman dan sekolah-sekolah. Langkah ini dilakukan dengan metode tracing, yakni melacak kontak erat ketika satu pasien positif ditemukan.
“Prinsipnya mirip seperti Covid-19. Kalau ada kasus positif, langsung kami lakukan pemeriksaan ke orang-orang yang sering berinteraksi,” jelas Endang.
Ia memaparkan, upaya penemuan kasus aktif (active case finding) kini juga didukung anggaran APBD, termasuk pemanfaatan fasilitas rontgen di puskesmas pratama. Hasil deteksi awal kemudian dikonfirmasi melalui Tes Cepat Molekuler (TCM).
Namun penanganan di lapangan tak selalu mudah. Endang menyebut sebagian warga enggan menjalani pengobatan meski sudah dinyatakan positif.
“Ada yang menolak karena merasa sehat. Padahal kalau tidak segera diobati, risiko menularkan ke orang lain semakin besar,” tuturnya.












