BANTUL, POPULI.ID – Ketersediaan tenaga medis di fasilitas kesehatan dasar masih menjadi persoalan serius di Indonesia. Data BPJS Kesehatan menunjukkan bahwa terdapat 454 puskesmas yang belum memiliki dokter umum dan 2.375 puskesmas tanpa dokter gigi. Kondisi ini berdampak langsung terhadap kualitas layanan primer dan memperbesar beban pembiayaan negara, terutama sejak implementasi Jaminan Kesehatan Nasional (JKN).
Dekan Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan (FKIK) Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), Prof. Dr. dr. Arlina Dewi, M.Kes., AAK, menjelaskan bahwa minimnya tenaga medis di level primer membuat puskesmas tidak dapat menjalankan fungsi strategisnya sebagai garda terdepan pelayanan kesehatan masyarakat. Padahal dalam sistem JKN, dokter umum berperan sebagai gatekeeper yang menentukan alur layanan.
“Kalau gatekeeper tidak berfungsi, alur sistem kesehatan menjadi berantakan. Rumah sakit menerima pasien yang seharusnya ditangani di layanan primer, sementara kasus yang semestinya ditangani dokter spesialis justru tertunda. Ini bukan hanya soal jumlah dokter, tetapi juga distribusi yang tidak merata,” ujar dr. Arlina dikutip dari laman UMY, Senin (1/12/2025).
Peningkatan jumlah rujukan berimbas pada naiknya beban biaya negara. Layanan kesehatan yang seharusnya dapat diselesaikan oleh dokter primer akhirnya ditangani oleh dokter spesialis di rumah sakit, yang biayanya jauh lebih tinggi.
Situasi ini kian berat karena ketersediaan dokter Indonesia masih jauh dari standar ideal. WHO menetapkan rasio satu dokter untuk setiap 1.000 penduduk. Dengan populasi Indonesia mencapai 278 juta jiwa, idealnya dibutuhkan sedikitnya 278 ribu dokter. Namun hingga saat ini, jumlah dokter umum baru berada di kisaran 180 ribu, sedangkan dokter gigi hanya sekitar 43 ribu.
“Jumlah dokter di Indonesia memang belum mencukupi. Dokter gigi lebih sedikit lagi, dan distribusinya sangat timpang. Banyak dokter memilih bertugas di kota besar karena fasilitas lebih lengkap, sementara di daerah 3T puskesmas bahkan tidak memiliki satu dokter pun,” tambahnya.
Melihat kondisi tersebut, dr. Arlina menekankan bahwa puskesmas dan klinik seharusnya mampu menyelesaikan sebagian besar kasus penyakit umum agar rumah sakit dapat fokus pada penanganan kasus berat.
“Jika layanan primer berjalan optimal, lebih dari 70 persen kasus sebenarnya bisa selesai di puskesmas atau klinik. Karena itu, keberadaan dokter di level pertama sangat krusial. Tanpa dokter di puskesmas, sistem rujukan akan terus membengkak, biaya negara meningkat, dan masyarakat yang paling dirugikan karena akses layanan dasar tidak terpenuhi,” pungkasnya.











