VATIKAN, POPULI.ID – Paus Fransiskus menutup perjalanan panjangnya di dunia ini pada Senin, 21 April 2025, dalam usia 88 tahun. Namun sebelum kepergiannya, ia meninggalkan sejumlah pesan mendalam. Warisan spiritual yang memantulkan komitmennya terhadap perdamaian, kasih, dan kemanusiaan.
Sehari sebelum wafat, dalam kondisi kesehatan yang sudah melemah, Paus Fransiskus tetap memilih hadir di hadapan puluhan ribu umat Katolik di Lapangan Santo Petrus.
Dalam Misa Paskah yang berlangsung pada Minggu, 20 April 2025, Paus tampil duduk di balkon Basilika Santo Petrus, didampingi para pembantunya.
Sebagian besar khotbahnya dibacakan oleh Uskup Agung Diego Ravelli, tetapi semangat pesannya tetap terasa kuat.
Dalam khotbah terakhir itu, Paus Fransiskus kembali menyerukan perdamaian. Ia mendesak agar perang di berbagai penjuru dunia segera dihentikan, mulai dari Ukraina, Gaza, Myanmar, hingga wilayah-wilayah yang dilanda kekerasan seperti Republik Demokratik Kongo, Sudan, dan Sudan Selatan.
Dengan suara penuh harap, ia meminta para pemimpin dunia untuk “meletakkan senjata dan beralih ke dialog,” serta mengingatkan bahwa di balik setiap konflik, yang menjadi korban bukanlah angka, melainkan manusia yang memiliki jiwa dan martabat.
Perhatian khusus ia tujukan kepada masyarakat Gaza, yang saat itu tengah mengalami situasi kemanusiaan yang tragis.
Ia memohon gencatan senjata segera, pembebasan sandera, dan akses kemanusiaan untuk mereka yang menderita.
Paus Fransiskus juga mengungkapkan kepedulian mendalamnya terhadap komunitas Kristen di Timur Tengah, Yaman yang dilanda krisis kemanusiaan panjang, serta rakyat Myanmar yang masih terjebak dalam perang saudara.
Usai misa, meski tubuhnya renta, Paus Fransiskus menyempatkan diri turun ke lapangan dengan menaiki popemobile, menyapa umat yang memadati Vatikan.
Momen itu menjadi pertemuan langsung terakhir antara Paus Fransiskus dengan umat Katolik—sebuah momen yang penuh kehangatan, haru, dan pengabdian tanpa batas.
Tak hanya kepada dunia luas, Paus Fransiskus juga menyampaikan pesan pribadi dalam hari-hari terakhirnya. Kepada perawat pribadinya, Massimiliano Strappetti, yang selama ini setia mendampinginya, ia mengucapkan kata-kata sederhana namun penuh makna:
“Terima kasih telah membawaku kembali ke Lapangan (Thank you for bringing me back to the Square),” itulah ucapan terakhirnya sebelum akhirnya jatuh koma.
Pesan Paus tidak berhenti di sana. Sebulan sebelum dirawat, pada 8 Januari 2025, ia sempat merekam sebuah video untuk kaum muda dalam program “Lokakarya Mendengarkan” di Italia.
Dalam pesan itu, Paus Fransiskus menekankan pentingnya seni mendengarkan—bukan sekadar mendengar, melainkan benar-benar memahami orang lain.
“Anak-anak terkasih,” ucap Paus, “salah satu hal terpenting dalam hidup adalah mendengarkan dan belajar cara mendengarkan. Jangan buru-buru menjawab sebelum orang selesai bicara. Dengarkanlah banyak-banyak.”
Ia juga mengingatkan kaum muda untuk lebih sering mendengarkan kakek-nenek mereka, karena di dalam kisah-kisah mereka tersembunyi kebijaksanaan hidup yang tak ternilai.
Pesan video ini akhirnya dirilis ke publik sehari setelah Misa Requiem untuk Paus Fransiskus, menjadi bagian dari kenangan yang menghidupkan kembali semangatnya di hati umat.
Kini, dunia berduka. Umat Katolik mengenang Paus Fransiskus sebagai pemimpin yang rendah hati, penuh kasih, dan teguh memperjuangkan perdamaian.
Hingga detik-detik terakhirnya, Paus tidak pernah berhenti berjuang untuk kemanusiaan. Ia meninggalkan dunia dengan pesan sederhana, namun abadi: ‘mendengarkan, mengasihi, dan memperjuangkan damai‘.