BANTUL, POPULI.ID – Kanker serviks masih menjadi salah satu penyebab kematian tertinggi pada perempuan di Indonesia. Padahal, penyakit ini sebenarnya dapat dicegah melalui pemberian vaksin HPV (Human Papillomavirus) sebanyak dua dosis.
Sayangnya, tingkat penerimaan vaksin HPV di kalangan remaja putri masih tergolong rendah, sehingga perlu menjadi perhatian serius bagi pemerintah dan masyarakat, khususnya para orang tua.
Hingga saat ini, pemerintah mencatat sekitar dua juta perempuan telah menerima dua dosis vaksin HPV. Namun, cakupan tersebut masih berada di bawah 75 persen dan jauh dari target nasional.
Hal ini menunjukkan bahwa meskipun program vaksinasi telah berjalan, kesenjangan dalam penerimaan vaksin masih menjadi tantangan nyata.
Kondisi ini menjadi perhatian Wakil Rektor Bidang Riset, Inovasi, dan Hilirisasi Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), dr. Supriyatiningsih, yang tengah melakukan riset bersama empat peneliti lainnya: Ida Ayu Sutrisni (Oxford University Clinical Research Unit Indonesia/OUCRU-ID); Assoc. Prof. Raph L. Harmers (OUCRU-ID); Assoc. Prof. Jennifer Ilo Van Nuil (OUCRU Vietnam); dan dr. Dewi Friska (Universitas Indonesia).
Penelitian tersebut berjudul “Socio-cultural Context of HPV Immunisation Policy and Practice in Indonesia” dan berlangsung hingga Oktober 2025.
Penelitian ini menyoroti pentingnya vaksinasi HPV bagi anak-anak usia sekolah dasar dan menengah, yang keputusan vaksinasinya masih sangat bergantung pada peran orang tua.
Menurut dr. Supriyatiningsih, atau yang akrab disapa dr. Upi, terdapat beberapa faktor yang memengaruhi keputusan seseorang terkait vaksinasi.
“Faktor sosiokultural seperti pandangan masyarakat terhadap vaksin sangat berpengaruh. Selain itu, ada tantangan akses, terutama tingginya biaya vaksin HPV dan kebutuhan penyimpanan dalam cold chain agar tetap efektif. Tidak kalah penting, penyebaran informasi yang keliru juga menjadi kendala dalam meningkatkan penerimaan vaksin,” jelasnya dikutip dari laman UMY, Senin (16/6/2025).
Untuk menggali lebih dalam pengaruh faktor sosiokultural tersebut, penelitian dilakukan di dua lokasi dengan karakteristik yang kontras, yakni Kepulauan Seribu sebagai wilayah urban yang dekat dengan pusat pemerintahan, dan Nusa Tenggara Barat (NTB) — khususnya Kota Mataram dan Kabupaten Lombok Utara — sebagai representasi wilayah terpencil (remote area).
Menariknya, berbeda dari Indonesia yang hingga kini masih memfokuskan vaksinasi HPV pada anak perempuan, sejumlah negara di kawasan Eropa telah memperluas cakupan vaksinasi ini hingga ke anak laki-laki.
Hal ini dilandasi temuan ilmiah bahwa laki-laki juga dapat menjadi pembawa virus HPV dan menularkannya melalui hubungan seksual.
Melihat fakta tersebut, dr. Upi dan tim peneliti berharap hasil penelitian ini dapat mendorong perumusan strategi pendekatan vaksinasi yang lebih inklusif dan efektif, termasuk menjangkau lintas gender.
“Kami ingin menyusun desain studi yang memungkinkan masyarakat, terutama orang tua, memahami pentingnya vaksinasi HPV. Lebih dari itu, kami berharap penelitian ini dapat menjadi batu loncatan strategis dalam peningkatan cakupan vaksinasi di Indonesia ke depan,” tutupnya.