YOGYAKARTA, POPULI.ID – Di tengah upaya memperkuat tata kelola perusahaan dan transparansi di sektor keuangan, Prof. Dr. I Putu Sugiartha Sanjaya, SE., M.Si., Akt., CA, mengangkat isu penting yang selama ini kurang mendapat sorotan, yaitu pengungkapan kepemilikan ultimat di sektor nonperbankan Indonesia.
Dalam pidato pengukuhannya sebagai Guru Besar Ilmu Akuntansi dengan kekhususan di bidang Akuntansi dan Pasar Modal, yang digelar Kamis (31/07/2025) di Universitas Atma Jaya Yogyakarta (UAJY), Putu menekankan pentingnya regulasi yang mewajibkan perusahaan sektor nonperbankan mengungkap siapa sebenarnya pemilik pengendali di balik struktur kepemilikan perusahaan.
“Isu tentang kepemilikan ultimat sebenarnya bukan hal baru di dunia akuntansi. Di tingkat internasional, ini sudah lama menjadi topik utama riset akuntansi, bahkan sebelum 2005. Namun di Indonesia, implementasinya belum merata, terutama di luar sektor perbankan,” ujar Putu.
Kepemilikan ultimat mengacu pada pihak yang memiliki hak kontrol terbesar dalam sebuah perusahaan, yakni pemegang saham pengendali sesungguhnya.
Dalam praktiknya, kepemilikan tersebut bisa tersembunyi di balik beberapa lapisan kepemilikan tidak langsung, membuat pengawasan menjadi lebih sulit.
Putu mengungkapkan, ketidakterbukaan informasi ini dapat menimbulkan risiko entrenchment, yaitu ketika terdapat kesenjangan besar antara hak kontrol dan hak atas aliran kas, yang pada akhirnya berdampak negatif terhadap kualitas laporan keuangan perusahaan.
“Semakin besar selisih antara hak kontrol dan hak aliran kas, semakin tinggi potensi manipulasi laba—baik melalui akrual, pergeseran inti (core shifting), hingga manipulasi aktivitas riil. Ini berujung pada bias informasi yang signifikan,” jelasnya.
Sebaliknya, ketika hak kontrol sejalan dengan hak aliran kas (alignment), kepentingan pemilik dan perusahaan cenderung selaras, sehingga risiko penyalahgunaan wewenang menjadi lebih kecil.
Fenomena ini pun memengaruhi reaksi pasar. Investor, lanjut Putu, cenderung menghindari saham perusahaan yang tidak transparan soal kepemilikan ultimatnya.
“Pasar memberi sinyal negatif, dan ini bisa berdampak pada turunnya minat beli terhadap saham perusahaan tersebut,” tegasnya.
Maka dari itu, Putu mendesak Otoritas Jasa Keuangan (OJK) untuk segera menerbitkan aturan yang mewajibkan pengungkapan kepemilikan ultimat bagi seluruh sektor nonperbankan, sebagaimana telah berlaku di sektor perbankan.
Ia menjelaskan bahwa manfaat pengungkapan ini tidak hanya bagi investor, tetapi juga bagi regulator dan kalangan akademisi:
Bagi investor, informasi ini membantu mengenali risiko ekspropriasi dan pengambilan keputusan investasi yang lebih cermat.
Bagi akademisi, membuka peluang penelitian lanjutan terkait kepemilikan ultimat yang selama ini masih terbatas di Indonesia.
Bagi regulator, pengungkapan ini penting dalam konteks implementasi prinsip ESG (Environmental, Social, and Governance), khususnya aspek governance terkait perlindungan pemegang saham minoritas.
Pidato pengukuhan yang disampaikan di hadapan Sidang Terbuka Senat Akademik UAJY ini dihadiri oleh puluhan tamu undangan dari berbagai kalangan, termasuk akademisi dari UAJY, UGM, kampus lain, serta kolega dan keluarga.
“Prof. Putu adalah Guru Besar keempat yang dimiliki Fakultas Bisnis dan Ekonomi UAJY,” ujar Dr. Y. Sri Susilo dalam keterangan tertulisnya.
Dikenal sebagai akademisi berdedikasi sekaligus penggemar sepeda, Putu merupakan putra asli Nusa Penida, Bali.
Ia menyelesaikan pendidikan Sarjana di UAJY (1994), kemudian melanjutkan Magister dan Doktor Ilmu Akuntansi di Universitas Gadjah Mada (2004 dan 2010).
Sedangkan gelar Profesi Akuntan (Akt.) ia peroleh dari Universitas Sanata Dharma.