YOGYAKARTA, POPULI.ID– Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) DIY menyatakan dukungan terhadap kebijakan pemerintah yang mewajibkan pembayaran royalti atas pemutaran musik di ruang publik, termasuk hotel dan restoran.
Namun, PHRI DIY menyoroti pentingnya transparansi dalam mekanisme distribusi royalti kepada pencipta lagu atau ahli warisnya.
Wakil Sekretaris PHRI DIY, Wahyu Wikan Trispratiwi, mengungkapkan bahwa sebagian besar anggota PHRI DIY, terutama hotel berbintang dan restoran besar telah menjalankan kewajiban tersebut sejak lama, bahkan sejak dekade 1990-an.
“Sebagian besar sudah membayar royalti melalui LMKN (Lembaga Manajemen Kolektif Nasional), meskipun datanya belum seluruhnya kami rekap. Dari total sekitar 400 anggota di DIY, sekitar 150 ada di Kota Yogyakarta,” ujarnya, Senin (4/8/2025).
Menurutnya, pembayaran royalti biasanya dihitung berdasarkan kapasitas kamar hotel atau luas area restoran.
Bahkan, kewajiban ini telah menjadi bagian dari syarat sertifikasi usaha, sehingga para pelaku industri perhotelan dan kuliner sudah cukup akrab dengan regulasi tersebut.
Meski demikian, PHRI DIY berharap pemerintah memberi kejelasan terkait alur distribusi royalti yang dibayarkan.
Hal ini diperlukan agar tidak terjadi keraguan soal apakah royalti benar-benar sampai kepada pihak yang berhak.
“Kami sangat mendukung, karena ini bentuk apresiasi kepada para pencipta lagu. Tapi yang kami minta, proses distribusinya dijelaskan secara terbuka—siapa yang menerima dan bagaimana mekanismenya,” tegas Wikan.
Ia juga menambahkan bahwa pelaku usaha kecil, seperti warung makan dan kafe skala mikro, tetap memutar musik seperti biasa tanpa penyesuaian signifikan.
Karena itu, Wikan mendorong pemerintah untuk memberikan panduan teknis yang jelas agar pelaku usaha kecil tidak merasa dirugikan atau kebingungan dengan aturan tersebut.
Sementara itu, Kepala Kanwil Kementerian Hukum dan HAM DIY, Agung Rektono Seto, menegaskan bahwa pemutaran musik di ruang usaha termasuk dalam kategori pemanfaatan komersial yang wajib disertai izin dari pemegang hak cipta.
“Pemutaran musik dari sumber pribadi seperti flashdisk atau layanan daring yang tak memiliki lisensi resmi jelas melanggar hak cipta,” katanya.
Agung juga mengingatkan bahwa masih banyak pelaku usaha di DIY yang belum memahami bahwa musik yang diputar untuk menunjang suasana pelayanan di restoran atau kafe harus berlisensi resmi.
“Karena ini digunakan secara komersial, maka izin penggunaannya harus melalui prosedur yang sah,” pungkasnya.