YOGYAKARTA, POPULI.ID – Sejumlah aktivis 98 dari seluruh Indonesia berkumpul untuk menggelar retret dan konsolidasi nasional di Yogyakarta.
Dalam jumpa pers yang dilakukan pada Minggu (10/8/2025) di Pendopo Lawas Alun-alun Utara, Keraton, Kota Yogyakarta, sejumlah aktivis ingin meluruskan kembali cita-cita yang digaungkan era reformasi.
Mereka merasa resah dan kecewa dengan kondisi negara yang tidak membaik di bawah kepemimpinan Presiden Prabowo Subianto, terlebih kinerja para menteri yang dianggap mengecewakan rakyat.
“Pertama, dalam konteks pemerintahan kami menilai bahwa kabinet sekarang kali lihat kinerjanya kurang begitu baik,” kata satu di antara aktivis, Surya Wijaya.
“Meskipun ada yang program yang bagus, karena kinerja menteri-menterinya tidak layak dalam melaksanakan program, maka program yang bagus tadi tidak berjalan sesuai harapan,” imbuhnya.
Sejumlah menteri yang diangkat Presiden tersebut kental dengan politik dagang sapi (kepentingan politik) tanpa terlalu memperhitungkan kompetensi.
Pihaknya juga menyoroti kondisi perpajakan yang dinilai sangat membebani ekonomi rakyat.
Aktivis juga memberi penilaian atas kinerja Badan Pengelola Investasi Daya Aganata Nusantara (Danantara). Disebut Arya, arah kerja dari Danatara melenceng dari yang seharusnya.
“Danantara seharusnya bisa mengelola investasi keuangan pemerintah dan juga dikelola orang profesional, ternyata arah kebijakan nya justru mencari pinjaman modal asing,” katanya.
Surya juga menyebut orang-orang yang berada dalam lembaga tersebut sarat dengan kepentingan politik. Pihaknya ingin lembaga tersebut dievaluasi total.
Pihaknya juga mempertanyakan sikap para menteri dalam menghadapi rakyatnya yang disebut terlalu reaksioner.
Aktivis 98 lainya, Adi Wibowo menjelaskan dalam retret dan konsolidasi tersebut turut menyikapi kondisi demokrasi saat ini yang jauh dari harapan para aktivis reformasi.
Hal tersebut terlihat bahwa adanya partai-partai besar yang lebih banyak menguasai parlemen dibanding partai kecil melalui parliamentary threshold.
Adi menilai, parlementary treshold sebagai aturan yang inkonstitusional. Oleh karena itu, pihaknya meminta agar aturan tersebut dihapuskan. “Kami memutuskan untuk dihapuskan menjadi 0 persen,” katanya.
Di satu sisi, presidential threshold saat ini juga menjadi agenda dari partai-partai besar dalam menentukan calon yang mereka miliki, dan membatasi kesempatan bagi para pemimpin dari partai kecil.
Ia menilai, semua orang yang memiliki kapasitas berhak menjadi presiden.
“Selama ini (calon) diisi hanya oleh politisi-politisi l besar yang pengaruh, seharusnya semua orang bisa menjadi presiden jika punya kapasitas ,”katanya.
Para aktivis menyebut ingin menyehatkan kembali lagi dengan menyehatkan proses politik.
Dalam waktu dekat, para aktivis akan melakukan dialog dengan 2 tokoh berpengaruh.
Mereka berencana menemui Sri Sultan Hamengku Buwono X dan Mantan Presiden ke-5 Megawati Soekarno Putri.
Para aktivis akan berkonsultasi terhadap dan bertukar pikiran karena dianggap masih memegang erat nilai reformasi. “Mungkin beberapa waktu kedepan kami akan bertemu,” katanya.
(populi.id/Hadid Pangestu)