NEPAL, POPULI.ID – Kathmandu dilanda gelombang demonstrasi besar pada Selasa (9/9/2025), menyusul kemarahan publik atas tewasnya 19 orang dalam unjuk rasa sehari sebelumnya.
Aksi ini menjadikan Nepal sorotan dunia, ketika ribuan anak muda turun ke jalan menuntut diakhirinya korupsi dan pembungkaman suara rakyat.
Sejak Senin, bentrokan antara aparat dan demonstran menyebabkan 19 korban jiwa serta lebih dari 100 luka-luka.
Pemerintah merespons dengan memberlakukan jam malam di beberapa titik ibu kota dan memblokir puluhan platform media sosial.
Protes memuncak sejak Senin pagi. Ribuan pelajar dan mahasiswa bergerak dari Maitighar menuju Kathmandu.
Awalnya damai, bahkan banyak peserta masih mengenakan seragam sekolah dan kampus.
Namun, situasi berubah ricuh ketika sekelompok orang yang diduga provokator membobol barikade aparat hingga massa berhasil masuk ke kompleks Gedung DPR Nepal.
Polisi menembakkan gas air mata dan peluru karet untuk membubarkan kerumunan.
“Jumlah massa kali ini belum pernah terjadi sebelumnya,” kata Aayush Basyal (27), mahasiswa S2 yang ikut aksi.
Protes ini dipicu oleh akumulasi ketidakpuasan publik terhadap pemerintahan Perdana Menteri KP Sharma Oli yang dinilai gagal memperbaiki kesejahteraan rakyat.
Kemewahan yang dipamerkan keluarga pejabat di media sosial semakin memperbesar jurang ketidakpercayaan.
Video anak politikus yang hidup mewah beredar luas di TikTok, memicu amarah di tengah pendapatan per kapita rakyat Nepal yang hanya sekitar US\$1.300 per tahun.
Kasus korupsi besar juga menjadi pemicu. Salah satunya skandal pengadaan dua pesawat Airbus A330 pada 2017 yang merugikan negara hingga 1,47 miliar rupee (sekitar US\$10,4 juta).
Beberapa pejabat tinggi divonis bersalah setelah penyelidikan panjang.
Aksi di Nepal juga dipengaruhi dinamika regional.
Protes rakyat yang menjatuhkan pemerintahan di Sri Lanka dan Bangladesh memberi semangat bagi generasi muda Nepal.
“Ini lahir dari frustrasi. Kami bayar pajak, tapi manfaatnya tidak pernah kembali ke rakyat,” ujar Ankit Bhandari (23), mahasiswa yang ikut aksi.
Ketegangan semakin membara setelah pemerintah memblokir 26 platform digital, termasuk Facebook, Instagram, WhatsApp, dan YouTube.
Kebijakan itu diberlakukan usai perusahaan teknologi dianggap gagal mendaftar secara resmi di Nepal.
“Larangan media sosial hanya memperparah krisis kepercayaan. Masalah utamanya adalah pengabaian suara generasi muda yang sudah berlangsung lama,” jelas Yog Raj Lamichhane, akademisi dari Universitas Pokhara.
Gelombang protes yang dipimpin generasi Z ini menandai babak baru perlawanan rakyat Nepal terhadap praktik korupsi dan otoritarianisme.
Meski pemerintah berusaha meredam dengan represi dan sensor, kemarahan publik tampak sulit dibendung.