Puluhan massa dari Aliansi Jogja Memanggil turun ke kawasan Nol Kilometer Yogyakarta, Kamis (2/10/2025).
Mereka kembali menyuarakan protes keras atas tindakan represif aparat kepolisian dalam merespons aksi demonstrasi akhir Agustus lalu.
Mereka mengirimkan surat tuntutan ke sejumlah lembaga negara, seperti Komnas HAM, Komnas Perempuan, Kemenko Polhukam, Sekretariat Kabinet, Ombudsman, dan DPR RI. Salah satu tuntutan utama mereka adalah pemangkasan anggaran Polri serta pelucutan senjata aparat.
Juru bicara aliansi, Dany, mengungkapkan bahwa respons berlebihan aparat berujung pada empat warga Yogyakarta mengalami amputasi tangan akibat tembakan dan pelemparan yang dilakukan polisi.
“Akibatnya ada 4 orang warga Yogyakarta yang tangannya harus diamputasi, itu data yang kami catat,” ujarnya.
Aliansi juga menyoroti penangkapan aktivis yang dinilai melanggar prosedur, serta sulitnya tim pendamping hukum memperoleh informasi mengenai korban dari kepolisian maupun rumah sakit.
“Penangkapan tanpa surat pemanggilan dan minim akses informasi membuat tim independen kesulitan melakukan advokasi dan peliputan,” tambahnya.
Dalam aksi itu, mereka juga menyoroti dampak penggunaan gas air mata di sekitar Mapolda DIY yang menyebabkan anak-anak dan lansia mengalami sesak napas.
Aliansi Jogja Memanggil menuntut agar para pelaku pelanggaran HAM, termasuk jenderal dan pejabat terkait, diadili, serta meminta penghentian kriminalisasi terhadap massa aksi.
“Kami meminta anggaran Polri dipotong, melucuti alat represi rezim Prabowo–Gibran, dan menolak keterlibatan militer di kampus,” tegas Dany.
Selain itu, mereka mendesak agar jurnalis diberi akses seluas-luasnya untuk mengungkap kematian 10 orang dalam rangkaian demonstrasi 28 Agustus–1 September 2025, dan mengingatkan agar tragedi Kanjuruhan juga dituntaskan.
Sementara itu, juru bicara BARA ADIL, Kharisma Wardhatul Khusniah, membenarkan data empat korban amputasi. Namun, ia menyebut korban takut melapor lantaran mendapat kunjungan dari sejumlah pejabat saat dirawat di rumah sakit.
“Mereka didatangi pejabat dari provinsi hingga kabupaten-kota, sehingga muncul ketakutan untuk melaporkan peristiwa tersebut,” ujarnya.
(populi.id/Hadid Pangestu)