BANTUL, POPULI.ID – Insiden tragis runtuhnya musholla di Pondok Pesantren Al Khaziny, Sidoarjo, yang menewaskan puluhan korban beberapa hari lalu kembali menggugah perhatian publik terhadap pentingnya keamanan konstruksi bangunan, khususnya pada fasilitas umum dan pendidikan.
Dosen Teknik Sipil Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) sekaligus pakar struktur dan bahan konstruksi, Ir. Muhammad Ibnu Syamsi, S.T., M.Eng., Ph.D., menyampaikan duka cita mendalam serta menyerukan perlunya evaluasi menyeluruh terhadap standar keamanan bangunan di Indonesia.
Ibnu menegaskan bahwa tanpa dilakukan inspeksi lapangan, uji material, analisis gambar kerja, serta penelusuran riwayat pembangunan, penyebab pasti keruntuhan belum dapat disimpulkan. Namun, ia menduga ada dua faktor utama yang berpotensi menjadi penyebab, yakni kelemahan struktur dan beban berlebih pada bangunan.
Ibnu menjelaskan bahwa sedikitnya terdapat tiga elemen penting yang perlu dicermati dalam kasus ini. Pertama, geometri dan dimensi struktur, yakni ukuran kolom atau balok yang mungkin terlalu kecil atau tidak proporsional untuk menahan beban. Kedua, mutu material konstruksi, seperti kualitas beton atau baja tulangan yang mungkin tidak sesuai standar. Ketiga, konektivitas sambungan antara balok dan kolom, yang sering kali menjadi titik kritis.
“Jika sambungan tidak didesain secara kuat, kegagalan lokal bisa menjalar dan memicu keruntuhan total bangunan. Inilah mekanisme yang paling dihindari dalam teknik sipil,” jelasnya.
Dari sisi beban, Ibnu juga menduga kemungkinan adanya overload atau alih fungsi bangunan tanpa perhitungan ulang. “Jika bangunan awalnya dirancang untuk satu lantai lalu ditambah lantai baru tanpa memperkuat kolom atau fondasi, maka risiko overload sangat tinggi,” tambahnya.
Ibnu menilai bahwa secara regulasi, Indonesia sebenarnya sudah memiliki Standar Nasional Indonesia (SNI) yang mengatur perencanaan struktur, termasuk untuk daerah rawan gempa. Namun, masalah muncul pada penerapan di lapangan yang masih belum merata, terutama pada proyek-proyek skala kecil atau swadaya masyarakat.
“Masalah klasiknya biasanya terkait keterbatasan tenaga ahli bersertifikat, dokumen perencanaan yang tidak lengkap, hingga lemahnya pengawasan teknis di lapangan,” jelasnya.
Ia juga menyoroti bahwa keterbatasan anggaran di daerah kerap mendorong praktik pembangunan secara mandiri tanpa pendampingan profesional. “Kondisi di daerah sering kali terkendala anggaran. Akibatnya, akses ke konsultan berlisensi terbatas dan pekerjaan dilakukan secara mandiri yang justru meningkatkan risiko kegagalan struktur,” ungkap Ibnu.
Sebagai langkah preventif, Ibnu mengusulkan pengetatan regulasi Izin Mendirikan Bangunan (IMB) dengan beberapa langkah konkret, antara lain kewajiban melampirkan gambar struktur yang ditandatangani oleh insinyur sipil berizin, pemeriksaan desain dan inspeksi lapangan yang lebih ketat, sertifikasi wajib bagi pelaksana dan pengawas konstruksi, serta uji material wajib yang melampirkan hasil uji mutu beton, baja, dan sambungan untuk proyek tertentu.
Untuk membantu masyarakat memenuhi persyaratan tersebut tanpa beban biaya tinggi, Ibnu menyarankan pemerintah daerah menyediakan layanan konsultasi teknis bersubsidi, khususnya bagi komunitas atau pondok pesantren.
“Keamanan adalah prioritas utama. Jangan pernah mengorbankan keselamatan demi menghemat anggaran. Jika perlu penghematan, lakukan di aspek non-struktural yang tidak krusial,” tegasnya.
Di akhir pernyataannya, Ibnu mendesak dilakukannya audit dan investigasi forensik menyeluruh guna menemukan penyebab pasti keruntuhan dan mencegah terulangnya tragedi serupa di masa mendatang.