BANTUL, POPULI.ID – Belakangan ini istilah NPD (Narcissistic Personality Disorder) atau gangguan kepribadian narsistik semakin sering muncul di dunia maya. Di berbagai platform media sosial, label “NPD” kerap digunakan secara sembarangan untuk menyebut seseorang yang dianggap egois, haus perhatian, atau selalu ingin menang sendiri.
Fenomena pelabelan ini, menurut Cahyo Setiadi Ramadhan, S.Psi., M.Psi., Psi., dosen Psikologi Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), justru dapat menimbulkan dampak sosial yang serius. Label gangguan mental yang disematkan tanpa dasar ilmiah bisa membentuk stigma, menimbulkan prasangka, bahkan menjauhkan seseorang dari lingkungan sosialnya meskipun ia sebenarnya tidak mengalami gangguan tersebut.
“Sekarang istilah NPD sering digunakan secara serampangan. Label seperti ini berbahaya karena menciptakan persepsi negatif terhadap seseorang bahkan sebelum dikenali lebih jauh. Akibatnya, ia bisa dijauhi, disalahpahami, atau kehilangan kesempatan berinteraksi secara sehat,” ujar Cahyo dikutip dari laman UMY, Sabtu (8/11/2025).
Secara klinis, NPD merupakan salah satu bentuk gangguan kepribadian yang ditandai dengan kebutuhan berlebih untuk dikagumi dan keyakinan konstan bahwa dirinya lebih unggul dari orang lain. Penderitanya kerap memiliki fantasi berlebihan tentang kekuasaan, kesuksesan, atau keistimewaan diri, serta sangat sensitif terhadap kritik.
“Mereka membutuhkan validasi dari orang lain dan sering kali tampak arogan. Ketika dikritik, bisa bereaksi berlebihan atau menolak tanggung jawab. Kondisi ini berbeda jauh dengan sekadar percaya diri tinggi,” jelasnya.
Namun Cahyo menegaskan bahwa tidak semua perilaku narsistik dapat dikategorikan sebagai gangguan kepribadian. Sebuah perilaku baru dapat disebut gangguan jika sudah menimbulkan kesulitan bagi diri sendiri maupun orang lain, misalnya ketika seseorang terlalu dominan hingga menghambat kerja tim, sulit menjalin hubungan dekat, atau tidak mampu menerima pandangan orang lain.
“Masalahnya, orang dengan NPD sering kali tidak sadar bahwa perilakunya merugikan dirinya sendiri. Ia justru menyalahkan orang lain, menganggap orang lain tidak kompeten atau toksik, padahal dirinya sendiri yang bermasalah,” ungkapnya.
Lebih lanjut, Cahyo menjelaskan bahwa penyebab munculnya NPD bersifat multifaktorial, mulai dari faktor biologis dan genetik, hingga pola asuh dan budaya sosial. Anak yang tumbuh dalam lingkungan penuh pujian berlebihan atau selalu diutamakan dapat mengembangkan rasa percaya diri semu yang sulit dikontrol. “Dalam budaya yang menyanjung satu gender atau memberi perlakuan istimewa sejak kecil, anak bisa tumbuh dengan rasa superioritas yang berlebihan. Dalam beberapa kasus, perilaku orang tua yang narsistik pun bisa ditiru oleh anak,” tambahnya.
Cahyo menegaskan bahwa memahami NPD tidak bisa hanya melalui konten singkat atau istilah viral di internet. Diagnosis gangguan kepribadian memerlukan pemeriksaan profesional oleh psikolog atau psikiater dengan prosedur ilmiah yang terstandar.
“NPD adalah istilah klinis, bukan label sosial. Yang berhak menegakkan diagnosis hanyalah profesional di bidangnya. Kalau masyarakat asal menilai dan memberi cap, itu bukan diagnosis, melainkan labeling semata. Bahkan bagi orang yang tidak narsistik tapi mudah terpengaruh secara sosial, label seperti ini bisa sangat menghancurkan,” pungkasnya.












